Jakarta (ANTARA) - Istilah "Latte Dad" atau dalam bahasa Swedia dikenal dengan sebutan latte pappa, belakangan ramai diperbincangkan di media sosial. Fenomena ini merujuk pada sosok ayah yang terlihat santai di kafe menikmati secangkir latte, sambil mendorong stroller atau menggendong anaknya.
Sekilas, pemandangan ini tampak seperti gaya hidup modern perkotaan. Namun lebih dari itu, Latte Dad mencerminkan perubahan besar dalam pola pengasuhan anak di negara Swedia dan menginspirasi diskusi global mengenai peran ayah dalam keluarga.
Awal mula istilah Latte Dad
Melansir dari Today, konsep ini berawal di Swedia, negara yang dikenal memiliki kebijakan keluarga modern dan inklusif. Sejak 1974, pemerintah mengganti sistem cuti melahirkan tradisional menjadi cuti orang tua berbayar yang dapat dibagi antara ibu dan ayah.
Menurut Swedish Institute, orang tua di Swedia mendapatkan total 480 hari cuti berbayar saat anak lahir atau diadopsi. Cuti ini fleksibel untuk dibagi sesuai kesepakatan keluarga, dengan pembayaran hingga 80 persen gaji melalui lembaga jaminan sosial negara. Seorang orang tua tunggal berhak atas seluruh 480 hari tersebut, sementara sebagian hari cuti bahkan dapat dialihkan kepada kakek, nenek, atau kerabat dekat.
Dengan kebijakan ini, para ayah di Swedia semakin sering terlihat menghabiskan waktu bersama anak, baik di taman kota, transportasi umum, maupun kafe. Dari sinilah istilah Latte Dad populer digunakan, menggambarkan sosok bapak-bapak yang aktif, modis, dan hadir dalam keseharian anak.
Dampak positif budaya Latte Dad
Fenomena Latte Dad menghadirkan sejumlah manfaat nyata, antara lain:
- Anak dapat menjalin ikatan emosional yang lebih erat dengan kedua orangtua.
- Ibu memiliki kesempatan lebih besar untuk kembali bekerja atau melanjutkan karier.
- Peran ayah sebagai pengasuh utama semakin diterima dalam masyarakat.
- Stereotip gender dalam pengasuhan perlahan memudar.
Dengan demikian, Latte Dad bukan sekadar simbol gaya hidup, melainkan bukti nyata perubahan paradigma dalam keluarga modern.
Tantangan di negara lain
Meski menarik, konsep ini belum mudah diterapkan di banyak negara. Tidak semua pemerintah menyediakan cuti panjang khusus ayah, sementara stigma sosial masih kerap melekat pada laki-laki yang memilih fokus mengasuh anak.
Namun demikian, komunitas Latte Dad di berbagai belahan dunia terus berkembang. Mereka saling berbagi pengalaman, tips pengasuhan, hingga cara menyeimbangkan waktu dan biaya demi lebih dekat dengan anak.
Menuju masa depan yang setara
Fenomena ini memberi pelajaran penting bahwa investasi dalam program cuti orang tua yang fleksibel bukan hanya bermanfaat bagi keluarga, tetapi juga berdampak positif bagi masyarakat. Kebijakan yang memungkinkan kedua orang tua aktif sejak awal diyakini dapat menciptakan generasi yang lebih seimbang dan adil gender.
Ketika melihat seorang ayah menikmati kopi sambil mengasuh anaknya, publik sesungguhnya sedang menyaksikan simbol masa depan pengasuhan modern—yakni keluarga yang lebih inklusif, setara, dan maju.
Baca juga: Apa itu co-parenting dan manfaatnya? Tagar Acha Septriasa jadi sorotan
Baca juga: 8 ciri parenting yang membuat anak berpotensi tumbuh jadi orang sukses
Baca juga: Sebaiknya bijak berkomentar pada pasangan menikah
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.