Seorang jamaah masjid tengah bertadarus di Masjid Nabawi, Madinah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satu pertanyaan menarik kerap muncul: mengapa Nabi Muhammad SAW memilih Madinah sebagai tempat hijrah dan menjadikannya basis dakwah Islam? Jawabannya terletak pada kesiapan masyarakat Madinah dalam menerima ajaran Islam, yang sangat berbeda dari pengalaman Rasulullah SAW di Makkah.
Menariknya, warga Madinah bukan hanya siap menerima Islam—mereka justru mencari-cari Nabi Muhammad SAW untuk menyatakan keimanan mereka. Berbeda dengan warga Makkah yang harus didatangi Nabi untuk mendengar dakwah, warga Madinah aktif mencari kesempatan bertemu Rasulullah SAW, terutama saat musim haji dan berbagai pertemuan lainnya.
"Justru warga Madinah ini dalam kesempatan haji dan banyak kesempatan lain berusaha ingin berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW untuk masuk Islam," tulis KH Ahmad Sarwat dalam bukunya, Madinah Era Kenabian.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keterbukaan warga Madinah adalah keberadaan komunitas Yahudi di kota itu. Orang-orang Yahudi kerap menyebut-nyebut akan datangnya seorang nabi terakhir dari bangsa Arab. Maka, ketika kabar kenabian Muhammad SAW sampai kepada mereka, sebagian besar penduduk Madinah—terutama dari suku Aus dan Khazraj—merasa inilah kebenaran yang selama ini mereka tunggu.
Keinginan besar itu dibuktikan dengan permintaan mereka agar Nabi mengirimkan seorang sahabat untuk mengajarkan Islam di Madinah. Maka diutuslah Mush'ab bin Umair, yang kemudian berhasil mengislamkan banyak tokoh penting Madinah.
Dua tahun berturut-turut dalam musim haji, terjadi peristiwa penting: dua kali baiat di Aqabah. Sebanyak 12 tokoh dari berbagai kabilah Madinah bersumpah setia kepada Rasulullah SAW. Mereka berjanji menjadi pembela Islam dan meminta Nabi Muhammad SAW untuk memindahkan pusat dakwahnya ke Madinah—tempat yang lebih aman, lebih terbuka, dan lebih siap membangun peradaban baru.