Oleh : Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Awal Mei lalu, saya sempat menjumpai Bang Aswar di kediamannya. Saat itu saya mendengar beliau sedang kurang sehat karena stroke. Beliau tidak bisa berjalan, namun semangatnya untuk berkarya tetap menyala. Ia tetap menulis dengan sangat baik, mengerjakan artikel, jurnal, dan berbagai tulisan lainnya dengan ketekunan yang tak tergoyahkan. Saya melihat sendiri bahwa penyakit tidak pernah mampu memadamkan api pengabdian yang ada di dalam dirinya.
Tiga bulan berlalu, kabar yang sama sekali tak saya duga itu datang. Seharian penuh saya tenggelam dalam berbagai kesibukan. Pesan demi pesan masuk di telepon, namun tak sempat saya baca. Saya mohon maaf, di tengah padatnya aktivitas, saya tidak memeriksa kabar yang ternyata begitu penting. Baru malam itu, ketika semua urusan selesai, saya membuka pesan dan dada ini seperti diremuk: Dr H Aswar Hasan telah berpulang.
Beliau wafat pada Rabu malam 13 Agustus 2025 pukul 20.21 WITA di Rumah Sakit Primaya Makassar. Sehari sebelumnya beliau mengalami pendarahan otak dan telah menjalani operasi. Takdir Allah mendahului harapan kita semua. Kabar itu seketika menyebar, mengguncang hati para akademisi, jurnalis, aktivis organisasi, dan sahabat-sahabatnya. Media sosial dipenuhi doa dan kenangan singkat tentang beliau, tanda duka yang menyatukan begitu banyak hati.
Saya mengenal Bang Aswar empat puluh tahun lalu. Sosok pendiam, berwibawa, dan dalam ilmunya. Atas saran dan arahannya, saya memilih menempuh studi di IAIN Makassar jurusan Penerangan dan Penyiaran Agama Islam yang kini dikenal sebagai Komunikasi dan Penyiaran Islam. Pilihan itu mengubah jalan hidup saya. Karena Bang Aswar, saya diperkenalkan kepada para senior di Sekolah Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin, membuka pintu pergaulan, memperluas wawasan, dan membawa saya masuk ke dunia komunikasi yang lebih luas.
Bang Aswar adalah instruktur langsung saya di Pelajar Islam Indonesia khususnya Brigade PII. Dari beliaulah saya belajar menulis dan membuat berita. Beliau mengajarkan bahwa kata bukan sekadar susunan huruf, melainkan kekuatan untuk membela kebenaran, membangkitkan semangat, dan menggerakkan perubahan. Pelajaran itu bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga amanah moral bahwa setiap kata harus lahir dari niat yang benar dan keberanian yang tulus.
Selama beliau berada di Jakarta, tiada hari tanpa kebersamaan. Saya terus menemani Bang Aswar dalam berbagai aktivitasnya. Dari ruang diskusi, rapat, hingga pertemuan publik, saya menyaksikan betapa luas wawasan dan rendah hati beliau. Tidak ada satu momen pun yang tidak meninggalkan pelajaran berharga, baik tentang ilmu, sikap, maupun martabat seorang pejuang.
Bang Aswar adalah sosok yang sangat tekun dan kuat dalam prinsipnya. Ia masuk dalam kategori seorang mujahid, seorang yang sungguh-sungguh mengabdi untuk umat di jalan Allah. Pengabdian itu bukan hanya terucap dalam kata, tetapi dibuktikan dalam karya, perjuangan, dan dedikasi yang tidak pernah surut hingga akhir hayat.