Lebih dari 200 orang dari berbagai daerah menghadiri Sarasehan bertema “Upaya Inovatif Gending Gerejawi sebagai Pengiring Pujian di Gereja Kristen Jawa” yang digelar di GKJ Gondokusuman, Senin (4/8). Jumlah peserta yang membludak dari target awal menjadi penanda antusiasme tinggi terhadap upaya pelestarian budaya Jawa—khususnya gamelan—di ruang ibadah gereja.
Ketua Panitia, Joko Pamungkas, mengaku tidak menyangka animo peserta begitu tinggi. “Audiensnya bukan hanya banyak, tapi bertahan dari awal sampai akhir. Di luar ekspektasi kami. Bahkan, yang hadir tidak hanya dari Jogja, tapi juga dari Cilacap, Kebumen, Manahan, Solo, sampai Jakarta dan Semarang,” ungkapnya.
Sarasehan ini menghadirkan dua narasumber utama: Pdt. Fendi Susanto, pendeta sekaligus dalang dari GKJ Gondokusuman, serta Gandung Djatmiko, akademisi seni pertunjukan dari ISI Yogyakarta. Keduanya menyoroti sejarah panjang sekaligus tantangan dan inovasi dalam penggunaan gamelan dalam ibadah Kristen Jawa.
Antara Pelarangan Misionaris dan Kebangkitan Budaya Lokal
Dalam paparannya, Pdt. Fendi mengungkap bahwa pada masa lalu, gamelan sempat dilarang di gereja oleh para misionaris. Namun kini, hampir semua GKJ telah memiliki perangkat gamelan yang digunakan untuk mengiringi pujian dalam ibadah. “Gamelan tak lagi sekadar pelengkap. Ia bagian dari cara kita memuliakan Tuhan dengan budaya kita sendiri,” ujar Fendi.
Senada dengan itu, Gandung Djatmiko menilai antusiasme peserta menunjukkan adanya semangat kolektif untuk tidak hanya melestarikan, tetapi juga mengembangkan bentuk-bentuk musikalitas Jawa dalam ibadah. “Yang hadir dari berbagai daerah ini menunjukkan gending rohani tidak cukup disimpan. Ia harus terus dimainkan dan diajarkan,” tuturnya.
Salah satu wujud inovasi diperlihatkan dalam pertunjukan musik yang menggunakan sendok sebagai penabuh gamelan—sebuah eksplorasi artistik yang tetap berakar pada kearifan lokal.
Gending Gereja sebagai Wajah Liturgi Jawa
Banyak peserta menyuarakan pentingnya gamelan sebagai identitas liturgi yang khas, sekaligus sebagai daya tarik spiritual. Andar Rujito dari GKJ Mergangsan menyebut, “Gereja tidak bisa meninggalkan budaya dan peradaban yang ada di sekitarnya. Karena kita ada di Jawa, tentu gamelan itu menjadi identitas budaya kita.”
Hal serupa disampaikan oleh John Kh. Roembiak, jemaat GKJ Gondokusuman asal Papua, yang menyebut gamelan dapat membuat jemaat merasa lebih dekat dengan Tuhan. “Bahasa Jawa dan gending membuat ibadah lebih menyatu dengan hidup kita sebagai orang Jawa. Jangan berhenti di sarasehan saja, harus ada tindak lanjut,” katanya.
Dari GKJ Manahan Solo, Harbono, seorang majelis, menekankan pentingnya regenerasi. Gerejanya kini memiliki tiga kelompok gamelan yang rutin latihan, bahkan sedang membentuk kelompok anak-anak. “Gamelan itu luwes, bisa mengiringi ibadah secara penuh. Ia harus hidup di gereja,” katanya.
Dari Sarasehan Menuju Buku Panduan Gending