Kepastian alokasi gas domestik untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik yang terus meningkat merupakan salah satu syarat utama dalam rangka transisi energi. Dalam beberapa tahun terakhir permintaan akan gas memang meningkat tidak hanya untuk industri tapi juga pembangkit listrik.
Ketersediaan infrastruktur juga vital lantaran temuan gas sekarang yang siap dimonetisasi berada di wilayah timur tapi sebagian besar pusat demand termasuk pembangkit listrik ada di wilayah Indonesia bagian barat.
Direktur Utama PLN EPI, Rakhmad Dewanto, menyatakan dalam kurun waktu 10 tahun atau seperti yang tertuang dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 10,3 gigawatt (GW). Sehingga sangat dibutuhkan keandalan serta kepastian pasokan gas. Untuk tahun 2025 tambahan kapasitas sebesar 0,4 GW kemudian untuk tahun 2026 sebesar 1,6 GW lalu tahun 2027 sebesar 3,8 GW. Selanjutnya tahun 2028 sebesar 1,1 GW, tahun 2029 mencapai 2,4 GW. Tahun 2030 sebesar 0,7 GW.
Selanjutnya untuk tahun 2031 hingga 2033 tambahan masing-masing sebesar 0,1 GW dan terakhir tahun 2034 ada tambahan sebesar 0,2 GW.
Kebutuhan gas mengalami kenaikan dari tahun 2024 ke tahun 2025 sebesar 4,64 persen atau 4,97 persen terhadap kebutuhan tahun 2023. Kebutuhan gas mengalami kenaikan rata-rata sebesar 5,3 persen menjadi 2.611 BBTUD di tahun 2033.
"PLN EPI mengharapkan kepastian alokasi gas baik dari sumber domestik ataupun sumber lainnya. Selain itu kami juga mengharapkan dukungan dari Pemerintah dalam setiap proses pengembangan infrastruktur gas termasuk perizinan dan pendanaan," kata Rakhmad dalam webinar DETalk bertema "Menata Pasokan Gas untuk Penguatan Transisi Energi", Selasa (5/8).
Rakhmad mengatakan PLN EPI sangat mendukung pengembangan lapangan gas eksisting ataupun temuan gas baru sehingga PLN bisa segera merampungkan pencarian pasokan gas. Apalagi pemerintah saat ini juga sangat memprioritaskan penggunaan gas untuk kebutuhan dalam negeri.
"Mudah-mudahan bisa mendukung cita-cita menggunakan gas lebih banyak mendampingi EBT, karena tidak hanya bersih, tapi juga dorong kemandirian energi. kita harap dukungan dari pengembangan infrastruktur bisa kita deliver. semoga dukungan stakeholder terkait gas ini dari personal view bisa menjadi tidak hanya transisi energi tapi energy destination," kata Rakhmad.
Sementara itu, Kepala Divisi Komersialisasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Rayendra Sidik, menyatakan pada dasarnya produksi gas Indonesia cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri termasuk untuk pembangkit listrik, hanya saja para produsen gas sudah telanjur meneken kontrak jangka panjang dengan para pembelinya di luar negeri. Untuk itu sambil menunggu pasokan gas lain yang berasal dari temuan-temuan cadangan gas baru, maka pemerintah berinisiatif untuk menjalankan strategi swap.
"Ada kontrak-kontrak jangka panjang sudah lebih dulu komit ke luar negeri. kita coba renegosiasi kirim belakangan akan ada proyek besar 2027 akhir 2028 kalau sudah on stream pak Rakhmad (PLN EPI) aman ada lagi proyek di Genting. Kita akan bicara dengan para pembeli, di mana bisa sepakati istilahnya jadwal ulang kargo-kargo mereka," katanya.
Rayendra mengakui untuk bisa meningkatkan pemanfaatan gas ini perlu salah satu tantangan terberat adalah dari sisi infrastruktur. Setelah itu baru dari sisi harga. "Tantangannya pusat demand dan produksi belum match (ketemu). Belum ada infrastruktur untuk membawa gas dari pusat produksi ke demand. Isu berikutnya adalah daya beli karena harus bawa dari ujung ke ujung itu butuh biaya kembali ke daya beli," ungkap Rayendra.