Jakarta, CNBC Indonesia - Lonjakan tarif impor yang kian membebani rantai pasok diperkirakan akan membuat inflasi konsumen Amerika Serikat terus merangkak naik sepanjang sisa tahun ini. Sejumlah ekonom Wall Street menilai efek penuh dari tarif baru justru belum terasa, meskipun data inflasi terbaru terkesan jinak.
Goldman Sachs memprediksi bahwa tekanan inflasi akibat tarif akan meningkat, pandangan yang sejalan dengan banyak ekonom lainnya. Dengan stok barang pra-tarif yang kian habis, tarif efektif yang melonjak, serta perusahaan yang makin enggan menanggung kenaikan biaya, konsumen diperkirakan akan merasakan dampak yang lebih besar dalam beberapa bulan mendatang.
"Tarif bisa mengurangi 1% dari PDB dan menambah 1%-1,5% inflasi, sebagian sudah terjadi," kata Michael Feroli, Kepala Ekonom AS di JPMorgan Chase, dalam catatannya, dilansir dari CNBC International.
"Ada ketidakpastian besar soal seberapa besar biaya itu diteruskan ke konsumen, mengingat kenaikan tarif tahun ini jauh lebih besar dibanding pengalaman AS pasca-Perang Dunia II."
Presiden Donald Trump pada Selasa mengecam Goldman Sachs atas riset yang dirilis akhir pekan lalu, yang menyatakan konsumen akan terkena dampak tarif yang lebih kuat hingga akhir tahun. Ekonom Goldman Sachs, David Mericle, membela analisisnya dan menegaskan perusahaan tidak gentar dengan kritik Trump.
Dalam unggahan di Truth Social, Trump bahkan menyarankan CEO David Solomon memecat ekonom yang menulis laporan tersebut atau mempertimbangkan untuk mengundurkan diri. Namun, jika semua ekonom yang memiliki pandangan serupa dipecat, "akan banyak meja kosong di Wall Street," sindir laporan tersebut.
Sebagian besar ekonom memperkirakan kenaikan harga yang stabil seiring tarif efektif yang diperkirakan mencapai 18%, jauh di atas sekitar 3% pada awal tahun.
"Tren penurunan inflasi inti tampaknya telah terputus saat tarif mulai masuk ke harga ritel," tulis Brian Rose, ekonom senior UBS.
"Kami memperkirakan inflasi akan terus naik perlahan saat pelaku usaha meneruskan biaya lebih tinggi ke konsumen, namun inflasi perumahan yang melambat dan resistensi konsumen yang makin tertekan bisa menahan sebagian dampak tarif."
Tidak ada prediksi inflasi yang melonjak liar, melainkan kenaikan bulanan sekitar 0,3%-0,5%, cukup untuk mendorong ukuran inflasi inti pilihan The Fed ke kisaran 3% rendah hingga pertengahan 3%.
Meski inflasi naik, para ekonom memperkirakan The Fed tetap akan mulai menurunkan suku bunga setelah menahan diri sepanjang 2025. Melemahnya pasar tenaga kerja dan keyakinan bahwa lonjakan inflasi bersifat sementara menjadi alasan pelonggaran kebijakan moneter.
Namun, dalam jangka pendek, inflasi yang meningkat dapat menahan belanja konsumen dan memangkas pertumbuhan ekonomi. JPMorgan memperkirakan dampak ke PDB-yang dua pertiganya berasal dari konsumsi-sekitar sedikit di bawah 1%.
Laporan Blue Chip Economic Indicators untuk Agustus memproyeksikan pertumbuhan PDB hanya 0,85% pada paruh kedua tahun ini, meski lebih baik dari perkiraan Juli sebesar 0,75% setelah beberapa analis yang tadinya pesimis memperbaiki proyeksinya. "Dampak pembatasan tarif diperkirakan sementara, dengan proyeksi pertumbuhan meningkat pesat tahun depan," tulis laporan tersebut.
Salah satu faktor risiko adalah berakhirnya pengecualian tarif de minimis pada 29 Agustus, yang selama ini membebaskan bea masuk barang bernilai di bawah US$800. Kebijakan ini dapat memukul harga barang ritel secara khusus.
Pantheon Macroeconomics memprediksi inflasi inti akan naik 1 poin persentase, mencapai 3,5% pada akhir tahun, dengan baru seperempat dampak yang dirasakan konsumen sejauh ini.
"Kami melihat kemungkinan kuat harga barang inti akan naik lebih cepat dalam beberapa bulan ke depan," tulis perusahaan tersebut.
BNP Paribas memperingatkan bahwa kenaikan harga akan meluas melampaui barang, mengacu pada survei terbaru yang "mengisyaratkan tekanan naik pada harga input jasa."
"Fokus utama The Fed soal inflasi bukan hanya levelnya, tetapi juga soal 'kelekatan' atau stickiness," tulis BNP. "Data CPI Juli, yang mengejutkan dengan kenaikan harga jasa inti, bukanlah kabar baik yang meyakinkan."
Indeks inflasi harga "lengket" versi Federal Reserve Cleveland-yang mencakup sewa, makan di luar, asuransi, perabot rumah tangga, dan sejenisnya-terus naik, kini mencapai 3,8% secara tahunan tiga bulan, tertinggi sejak Mei 2024. Sementara itu, inflasi harga fleksibel seperti makanan, energi, dan suku cadang kendaraan jauh lebih rendah.
"Tarif akan menyebabkan inflasi lebih tinggi di bulan-bulan mendatang," kata Gus Faucher, Kepala Ekonom PNC. "Dengan CPI inti naik pada Juli, dan harga lebih tinggi saat bisnis meneruskan beban tarif ke pelanggan, inflasi PCE inti akan makin jauh di atas target The Fed dalam waktu dekat."
Meski sebagian besar ekonom memprediksi jalan menuju pemangkasan suku bunga akan terbuka, Faucher menilai inflasi yang meningkat tetap dapat membuat pembuat kebijakan ragu, walaupun pasar tenaga kerja melemah.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Amerika Serikat di Tepi Jurang Stagflasi, Ekonomi dalam Bahaya