
KPK menyita dua rumah senilai Rp 3,2 miliar terkait kasus dugaan korupsi pada dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) dari APBD Jawa Timur 2019–2022.
Juru bicara KPK Budi Prasetyo, mengatakan dua rumah yang disita itu berlokasi di Surabaya dan Mojokerto, Jawa Timur. Penyitaan tersebut dilakukan pada hari ini, Kamis (19/6).
"Pada hari ini juga dilakukan penyitaan terhadap dua rumah yang berlokasi di Surabaya dan Mojokerto. Kedua rumah tersebut bernilai kurang lebih saat ini sebesar Rp 3,2 miliar," kata Budi kepada wartawan.
Budi menyebut, penyitaan dilakukan karena diduga uang pembelian rumah itu berasal dari hasil rasuah perkara dana hibah tersebut.
"Pembelian atas rumah tersebut diduga hasil dari perkara pokmas tersebut," tuturnya.
Dalam penyidikan kasus itu, KPK pun memeriksa empat orang saksi pada hari ini, Kamis (19/6). Sejumlah materi pemeriksaan pun didalami penyidik kepada para saksi tersebut.
Adapun para saksi itu yakni staf Sekretariat Dewan Provinsi Jawa Timur, Bagus Wahyudyono, yang didalami terkait dengan perannya selaku staf anggota DPRD dalam pengajuan dana hibah pokmas.
Kemudian, juga ada saksi dari anggota DPRD Kabupaten Sampang, Amir Lubis, yang diperiksa terkait dengan perannya dalam pengajuan proposal dana hibah dari para kelompok masyarakat.
Lalu, dua saksi lainnya yakni seorang notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) bernama Wahayu Krisma Suyanto dan seorang pimpinan dealer Asri Motor. Keduanya didalami terkait aset yang dibeli tersangka.
"Pemeriksaan dilakukan di Kantor BPKP Provinsi Jawa Timur," ungkap Budi.
Kasus Dana Hibah

Kasus ini merupakan pengembangan dari perkara mantan Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simandjuntak. Sahat diduga menerima suap terkait dana hibah untuk kelompok masyarakat. Dana hibah ini dinamai hibah pokok pikiran (pokir).
Terkait dana hibah yang bersumber dari APBD Pemprov Jatim. Dalam tahun anggaran 2020 dan 2021, APBD Pemprov Jatim merealisasikan dana belanja hibah dengan jumlah seluruhnya sekitar Rp 7,8 triliun kepada badan, lembaga, organisasi masyarakat di Jatim.
Praktik suap diduga sudah terjadi untuk dana hibah tahun anggaran 2020 dan 2021. Sahat yang merupakan politikus Golkar dan seorang pihak lain bernama Abdul Hamid diduga kemudian bersepakat untuk praktik tahun anggaran 2022 dan 2023.
Sahat sudah menjalani proses sidang dan divonis 9 tahun penjara. Pengembangan kasusnya saat ini tengah diusut.
Dalam pengembangan itu, KPK menetapkan 21 orang sebagai tersangka, tapi identitasnya belum dibeberkan. Begitu juga konstruksi kasusnya.
Berdasarkan perannya, empat tersangka merupakan penerima suap. Tiga orang di antaranya merupakan penyelenggara negara. Sementara, satu lainnya adalah staf dari penyelenggara negara.
Sementara, 17 tersangka sisanya berperan sebagai pemberi. Sebanyak 15 orang berasal dari pihak swasta dan dua orang lainnya merupakan penyelenggara negara.