Kementerian Pertahanan Korea Utara (Korut) menyebut latihan militer gabungan Korea Selatan (Korsel)-Amerika Serikat (AS) sebagai tindakan provokasi. Latihan itu dijadwalkan berlangsung mulai 18 Agustus mendatang.
"Kami mengecam keras AS dan Republik Korea (Korsel) atas tindakan provokatif mereka yang secara jelas menunjukkan sikap konfrontasi militer dengan DPRK [Korut] dan kembali mengusik keamanan di Semenanjung Korea dan kawasan," ujar Menteri Pertahanan Nasional Korut, No Kwang Chol, mengutip pernyataan resmi Kantor Berita Pusat Korut yang disiarkan KCNA, Senin (11/8).
No Kwang Chol juga memperingatkan kedua negara terkait potensi konsekuensi negatif yang dapat timbul dari latihan tersebut.
"Angkatan bersenjata DPRK akan menghadapi latihan perang Amerika Serikat dan Republik Korea (Korsel) dengan sikap penanggulangan yang menyeluruh dan tegas, serta secara ketat menjalankan hak kedaulatan DPRK, setara dengan hak untuk membela diri jika terjadi provokasi yang melampaui batas wilayah," tambahnya.
Mengutip AFP, peringatan Korut ini muncul jelang pelaksanaan latihan tahunan Ulchi Freedom Shield, yang bertujuan membendung ancaman dari Korut yang bersenjata nuklir, pada 18–28 Agustus. Pyongyang menilai latihan ini sebagai persiapan invasi, seperti yang terjadi pada 1950.
AS sendiri saat ini menempatkan sekitar 28.500 tentara di Korsel. Kedua negara secara rutin menggelar latihan gabungan yang mereka klaim bersifat pertahanan.
Korsel Singkirkan Pengeras Suara di Perbatasan
Dalam perkembangan terkait hubungan antar-Korea, Korsel baru-baru ini memindahkan pengeras suara di sepanjang perbatasan sebagai langkah mengurangi ketegangan.
Dikutip dari AP, Senin (4/8), pengeras suara tersebut sebelumnya digunakan untuk menyiarkan propaganda anti-Korut. Namun, sejak Presiden Lee Jae Myung memimpin, siaran propaganda dihentikan pada Juni lalu sebagai langkah damai untuk membangun kembali kepercayaan dan membuka dialog dengan Pyongyang.
Namun, langkah ini ditanggapi dingin oleh Kim Yo-jong, adik sekaligus penasihat utama Pemimpin Tertinggi Korut Kim Jong-un. Ia menilai kepercayaan buta Korsel terhadap AS dan permusuhan terhadap Korut tidak berbeda dengan pemerintahan konservatif sebelumnya di bawah Yoon Seok Yeol.
Saat dipimpin Yoon, hubungan Seoul–Pyongyang jauh dari upaya rekonsiliasi. Selain soal pengeras suara, Yoon juga mengumumkan rencana mengembangkan senjata laser untuk menembak jatuh drone Korut yang memasuki wilayah Korsel.
Kebijakan ini berbeda dengan pendekatan Presiden Moon Jae-in--pendahulu Yoon--yang pada 2018 mengadakan pertemuan bersejarah di zona demiliterisasi bersama Kim Jong-un dan Presiden AS Donald Trump—menjadikan Trump presiden AS pertama yang menginjakkan kaki di wilayah Korut.