REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Butuh waktu ratusan tahun lamanya sebelum teknologi pembuatan kertas merambah Eropa. Pada 1276, untuk pertama kalinya Barat—yakni wilayah Benua Biru yang dikuasai rezim non-Muslim—memiliki sebuah pabrik kertas. Pabrik itu didirikan di Fabriano, Italia. Berikutnya, pada 1390 pabrik kertas juga dibangun di Nuremberg, Jerman.
Namun, geliat penggunaan kertas di negeri-negeri Kristen masa itu berlangsung agak lambat bila dibandingkan dengan dunia Islam. Sampai-sampai, pada masa itu suatu adagium cukup terkenal: “Papirus Mesir bagi orang-orang Barat (Eropa) adalah seperti kertas Samarkand bagi orang-orang Timur (Asia).”
Munculnya industri kertas di negeri-negeri Muslim secara otomatis mendorong kemajuan literasi masyarakat setempat. Tolok ukurnya, jumlah perpustakaan yang tumbuh subur di seantero kerajaan-kerajaan Islam.
Keadaan itu bahkan sudah terdeteksi 200 tahun sebelum pabrik kertas pertama di Fabriano atau pula Nuremberg. Ambil contoh, Bait al-Hikmah di Baghdad pada masa Sultan Harun al-Rasyid. Tak kurang dari satu juta buku—bukan perkamen atau papirus—ada di sana. Pada 891, seorang pengelana mencatat ada lebih dari 100 perpustakaan umum di Kota Seribu Satu Malam saja. Kota kecil semacam Najaf malahan punya rumah baca dengan koleksi 40 ribu buku.
Pada abad ke-10, Sultan al-Hakim dari Kordoba, Andalusia, punya koleksi pribadi sebanyak 400 ribu buku. Astronom Muslim asal Persia, Nashruddin alTusi (lahir 1201) punya 400 ribu buku. Sultan al-Aziz dari Dinasti Fatimiyyah punya 1,6 juta buku. Sebanyak 18 ribu di antaranya membahas tentang matematika dan filsafat.
Bandingkanlah angka-angka itu dengan kepemilikan buku Karel yang Agung (Charlemagne), yang wilayah kekuasaannya saat itu meliputi seluruh Prancis dan sebagian Italia. Roger Garaudy dalam Promesses de l'Islam mengatakan, tokoh bangsa Frankis itu “hanya” memiliki 900 buku. Dan, seluruh Eropa (Kristen) waktu itu menggelarinya sebagai “Penguasa yang Pandai.” Apalagi para raja Muslim yang memiliki jauh lebih banyak buku—bukankah lebih pandai jadinya?
Hedi Ben Aicha dalam artikelnya untuk The Journal of Library History, menggambarkan besarnya pengaruh literasi Islam di Benua Eropa pada abad pertengahan. Spanyol dan Sisilia (Italia Selatan kini) berturut-turut menjadi mercusuar peradaban berkat keberpihakan para penguasa Muslim terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kosmopolitanisme.
Daulah Islam memberlakukan kebijakan yang penuh toleransi terhadap setiap kalangan non-Muslim. Alhasil, di Benua Biru cukup banyak intelektual Kristen yang tumbuh menjadi pencinta kebudayaan Arab. Alvaro, seorang penganut Kristen pada abad kesembilan, mengeluhkan banyaknya orang Kristen di Andalusia yang lebih suka mengidentifikasi dirinya sebagai orang Arab, alih-alih Eropa.
“Banyak rekanku sesama penganut agama (Kristen) yang membaca puisi dan cerita-cerita dari Arab, mempelajari agamanya (Nabi) Muhammad dan pemikir-pemikir (Muslim). Semua itu bukan untuk mengkritisi (Islam), melainkan mempelajari bagaimana mereka dapat mengekspresikan diri dengan lebih elegan lagi seturut dengan kebudayaan Arab. Maka, di mana lagi kita sekarang mendapati seseorang membaca teks-teks berbahasa Latin tentang kitab suci (Kristen)?” tulis Alvaro.