REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jauh sebelum Johannes Gutenberg memperkenalkan mesin cetak pada pertengahan abad ke-15, peradaban Islam era klasik sudah lebih dahulu memunculkan mekanisme penerbitan buku yang berbahan dasar kertas.
Johannes Pedersen dalam The Arabic Book (1984) menjabarkan, publikasi buku dalam peradaban Islam sepanjang abad pertengahan bermula dari masjid. Sebab, masjid berfungsi tak hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga sentra aktivitas intelektual, termasuk pengumuman naskah tulisan dan peluncuran buku.
Sebagai contoh, Pedersen menuturkan, pada zaman Kekhalifahan Abbasiyah, penerbitan disebut sebagai kharrajah. Asal katanya ialah kharaja, yang berarti 'muncul'. Waktu itu, ada beberapa tahapan yang mesti dilalui seseorang bila hendak menerbitkan buku.
Pertama-tama, ia mesti merangkai berbagai catatan pendahuluan (muwaddah) terlebih dahulu. Muwaddah karyanya itu lantas dibawa ke masjid untuk diumumkan kepada khalayak ramai—biasanya bakda shalat berjamaah. Seusai menerima respons dari hadirin, si penulis akan menanyakan adakah warraq yang hadir di sana tertarik untuk menyalin naskahnya itu.
Warraq adalah sebutan bagi profesi penyalin naskah. Namun, tugasnya tidak hanya menyalin naskah yang disodorkan kepadanya, tetapi juga berburu tulisan dari para (calon) penulis. Ia juga menghubungkan antara pengarang dan publik pembaca. Profesi ini memiliki prestise tersendiri.
Ketika suatu muwaddah diumumkan di pelataran masjid, para warraq mesti menyimaknya. Ia pun akan menimbang-nimbang, apakah muwaddah itu memang layak diteruskan menjadi sebuah buku? Apakah nanti buku itu akan laku di pasaran?
Sesudah memastikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, seorang warraq lantas akan membuat perjanjian dengan si pengarang naskah. Dengan begitu, mereka mendapatkan lisensi untuk mencetak, menerbitkan, dan menjual buku karya pengarang tersebut.
Abdul Hadi WM dalam Cakrawala Budaya Islam menuturkan beberapa contoh luar biasa kerja sama antara pengarang dan penyalin naskah dalam periode ini. Misalnya, pakar tata bahasa al-Bawardi (wafat 957 M) atau ahli tafsir al-Tabari (wafat 923 M). Keduanya mendiktekan 30 ribu halaman karangannya kepada sejumlah warraq.
Industri perbukuan pun diproteksi dengan pengakuan atas hak cipta (copyright). Sebab, tidak boleh ada penyalinan tanpa izin tertulis dari si pengarang yang bersangkutan. Salinan dari warraq yang bekerja sama dengannya pun harus dibubuhi ijazah yang memuat tanda tangan pengarang.
Menurut Abdul Hadi, proses memperoleh ijazah itu lumayan berliku-liku. Seorang warraq mesti membaca kembali naskah salinannya itu minimal tiga kali. Pengarang lalu memberikan komentar, koreksi, atau tambahan bilamana perlu. Hanya bila si pengarang sudah puas, barulah ijazah dapat diberikan sehingga si warraq boleh menerbitkan naskahnya dalam bentuk buku.