KEMENTERIAN Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) memberikan tiga program bantuan untuk guru non-aparatur sipil negara (ASN) sebagai bagian dari "kado" HUT RI dari presiden untuk guru. Namun, sejumlah organisasi guru menilai bantuan itu belum menyentuh akar persoalan kesejahteraan pendidik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program tersebut mencakup insentif Rp 300 ribu per bulan untuk 341.248 guru non-ASN yang belum mengikuti sertifikasi, bantuan subsidi upah (BSU) bagi 253.407 guru pendidikan anak usia dini (PAUD) non-formal, serta program kualifikasi afirmasi bagi 12.500 guru untuk meraih gelar sarjana (S1) atau diploma IV. Dari kuota tersebut, 7.000 guru dikabarkan telah mendaftar.
Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) sekaligus Koordinator Koalisi Barisan Guru Indonesia (Kobar Guru Indonesia) Soeparman Mardjoeki Nahali mengapresiasi kebijakan tersebut. Namun ia mengingatkan bahwa nilai insentif masih jauh dari janji kampanye Presiden Prabowo Subianto yang menyebut bakal menaikkan penghasilan guru sebesar Rp 2 juta per bulan plus tunjangan hari raya (THR).
“Jika dihitung, insentif ini baru 15 persen dari janji kampanye,” kata Soeparman dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 7 Agustus 2025.
Ia juga menyoroti bahwa sebagian besar guru non ASN yang belum sertifikasi mendapat upah di bawah upah minimum provinsi (UMP). Dengan UMP di berbagai daerah berkisar Rp 2,2 juta–Rp 2,9 juta, insentif Rp 300 ribu hanya mencakup 10–15 persen dari kebutuhan minimum.
“Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja tidak cukup, apalagi untuk meningkatkan kompetensi,” ujarnya.
Kritik juga datang dari Ketua Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Jawa Barat, Iwan Hermawan. Ia meminta pemerintah segera mengikutsertakan guru penerima insentif dalam program Pendidikan Profesi Guru (PPG) agar berhak atas tunjangan profesi. “Bagi yang belum sarjana atau D4, harus diprioritaskan masuk program afirmasi agar mereka tidak terus terjebak dalam status honorer rendah upah,” kata dia.
Iwan mengingatkan bahwa insentif yang terlalu kecil membuat guru sulit keluar dari garis kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Di Provinsi Lampung, Ketua Dewan Penasehat Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Gino Vanollie bahkan menyebut banyak guru non-ASN dan non-sertifikasi menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. “Dengan standar kemiskinan keluarga Rp 2,9 juta per bulan, hampir semua guru honorer yang belum sertifikasi bisa dikategorikan miskin,” ujar Gino.
Ia berharap pemerintah pusat hingga daerah serius memprioritaskan peningkatan kesejahteraan guru honorer dan swasta. “Tanpa pendapatan yang layak, mustahil kita bicara mutu pendidikan.”
Sementara, Ketua Persatuan Guru Sekolah dan Madrasah Swasta Provinsi Jawa Tengah Muhzen Adv menuntut agar program insentif tidak diskriminatif. “Guru-guru madrasah di bawah Kementerian Agama juga harus mendapat insentif, baik negeri maupun swasta,” kata Muhzen. Ia mendesak agar besaran insentif dinaikkan menjadi Rp 1 juta per bulan.