KOALISI Task Force Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) menyurati Presiden Prabowo Subianto untuk tidak menandatangani Peraturan Presiden Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (Perpres PKUB). Surat terbuka diserahkan langsung oleh koalisi ke Sekretariat Negara pada Kamis, 7 Agustus 2025.
Koalisi itu terdiri dari 12 organisasi masyarakat sipil, yakni Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Sobat KBB, SETARA Institute, YLBHI, AJI Indonesia, Imparsial, SALT Indonesia, Yayasan Satu Keadilan (YSK), The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia (YKPI), El Bukhari Institute (EBI), Anak Bumi Dwipantara, Perhimpunan Jiwa Sehat, dan CIS Timor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator program YKPI Kristina Viri mengatakan draf Perpres PKUB gagal menjawab akar intoleransi dan justru berpotensi memperburuk situasi. Beberapa alasan penolakan, antara lain materi draf Perpres PKUB yang masih rentan diskriminatif dan dinilai tidak inklusif. Salah satunya masih memuat syarat 90 pengguna dan 60 dukungan masyarakat sekitar apabila hendak membangun rumah ibadah.
“Seharusnya hal ini dikaji lebih dalam, mengingat ini merupakan persoalan utama terkait dengan hak atas tempat beribadah. Begitu juga dengan hak bagi masyarakat yang menganut penghayat kepercayaan, perlu dijamin dalam Perpres tersebut yang seharusnya dapat berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016,” kata Viri di gedung Kementerian Sekretariat Negara, Kamis, 7 Agustus 2025.
Alasan penolakan lain, yakni draf Perpres PKUB disusun secara serampangan dan tanpa partisipasi masyarakat sipil. Viri mengatakan pembahasan draf Perpres PKUB yang terakhir tidak melibatkan masyarakat sipil, termasuk penganut atau organisasi agama atau kepercayaan yang selama ini terdampak. “Hal ini dapat dilihat dari tidak dibukanya ruang diskusi dan konsultasi draf terakhir Perpres PKUB bagi komunitas atau masyarakat yang terkena dampak,” ujarnya.
Di samping itu, materi draf Perpres PKUB masih memuat pasal-pasal yang memicu konflik antar umat bergama. Misalnya, kata Viri, draf ini memberikan kewenangan masyarakat untuk memberikan atau tidak memberikan izin, membuat dikotomi mayoritas dan minoritas, dan mengutamakan kepentingan mayoritas. “Pengaturan ini tidak relevan diterapkan di negara Indonesia dengan masyarakat yang memiliki keragaman agama atau keyakinan,” ucapnya.
Oleh Karena itu, Koalisi Task Force Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan mendesak Presiden Republik Indonesia untuk menunda penandatanganan Ranperpres PKUB sampai dilakukan perbaikan substansial. Koalisi juga mendesak pemerintah agar menjamin partisipasi publik dalam revisi kebijakan, termasuk melibatkan korban intoleransi dan organisasi kepercayaan, serta mengutamakan jaminan konstitusional (UUD 1945 Pasal 28E dan 29) atas hak beribadah dan bebas dari diskriminasi.
“Koalisi juga mendesak pemerintah menyertakan perlindungan khusus bagi anak terdampak konflik agama, termasuk pemulihan psikososial dan jaminan keamanan beribadah,” ujar Viri.
Koalisi juga menyayangkan peningkatan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan selama setahun terkhir. Sepanjang tahun 2024, SETARA Institute mencatat 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran KBB. Jumlah ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 217 peristiwa dengan 329 tindakan pada 2023. Bahkan, 159 kasus dilakukan oleh aktor negara. Sedangkan 243 kasus dilakukan oleh aktor non negara. Secara umum, kondisi KBB 2024, terlihat pada tingginya tindakan intoleransi (73) oleh masyarakat, dan tindakan diskriminatif (50) oleh negara.