
Koalisi penguasa Jepang kehilangan kendali atas majelis tinggi dalam pemilihan yang berlangsung pada Minggu (20/7) kemarin. Hasil ini semakin memperlemah kekuasaan Perdana Menteri Shigeru Ishiba, meski berjanji akan tetap menjadi pemimpin partai.
Meski pemungutan suara tidak secara langsung menentukan apakah pemerintahan Ishiba akan jatuh atau tidak, hasilnya menambah tekanan pada Ishiba yang sedang berjuang mempertahankan kekuasaannya. Khususnya di tengah negosiasi tarif yang masih berlangsung dengan Amerika Serikat (AS).
Partai Demokratik Liberal (LDP) pimpinan Ishiba dan mitra koalisinya Komeito memperoleh 47 kursi, kurang dari 50 kursi yang dibutuhkan untuk memastikan suara mayoritas di majelis tinggi yang beranggotakan 248 kursi. Separuh kursi diperebutkan dalam pemilu kali ini.
Ini merupakan hasil terburuk LDP dalam 15 tahun terakhir. Hasil ini juga membuat pemerintahan Ishiba rentan terhadap mosi tidak percaya dan seruan dari internal untuk mengubah kepemimpinan partai.

Setelah pemungutan suara ditutup, Ishiba mengatakan kepada NHK menerima hasil yang berat itu dengan sungguh-sungguh.
"Kami sedang bernegosiasi tarif yang kritis dengan Amerika Serikat. Kami tidak boleh merusak negosiasi ini. Wajar jika kami mencurahkan seluruh dedikasi dan energi untuk mewujudkan kepentingan kami," kata Ishiba kepada TV Tokyo, dikutip dari Reuters, Senin (21/7).
Ishiba pun membenarkan akan tetap mempertahankan posisinya sebagai perdana menteri saat ditanya soal pemerintahannya.
Selain LDP dan Komeito yang total memperoleh 47 kursi, partai oposisi utama Partai Demokrat Konstitusional berada di posisi kedua dengan 22 kursi.
Sementara partai sayap kanan, Sanseito, mengumumkan kehadirannya di politik arus utama dengan 14 kursi. Sanseito memperoleh dukungan sejak mengumumkan kampanye 'Japanese First' dan peringatan 'invasi diam-diam' warga negara asing.