
KEMENTERIAN Perindustrian (Kemenperin) menanggapi kritik dari sejumlah pihak mengenai pertumbuhan industri pada triwulan II 2025 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak sejalan dengan hasil Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia yang dilansir oleh S&P Global.
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief mengklaim data BPS sudah valid. Hal ini tercermin dari hasil Indeks Kepercayaan Industri (IKI) dan Prompt Manufacturing Index-Bank Indonesia (PMI BI) yang menyatakan industri manufaktur nasional masih tangguh.
"Angka pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan industri manufaktur yang dirilis oleh BPS sudah akurat. Industri manufaktur masih ekspansif," ujar Febri dalam keterangan resmi, Rabu (6/8).
Merujuk data BPS, industri pengolahan nonmigas pada triwulan II 2025 mencatatkan pertumbuhan 5,60% secara tahunan (year on year/yoy) atau melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang tercatat sebesar 5,12%. Febri menilai data tersebut menunjukkan ketangguhan sektor industri manufaktur dalam menghadapi tekanan global dan membuktikan peran vitalnya sebagai motor penggerak perekonomian nasional.
Pada periode yang sama, Febri menjelaskan industri pengolahan nonmigas memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional yang melonjak dari 16,72% pada kuartal II 2024 menjadi 16,92% pada kuartal II tahun 2025. Capaian positif tersebut juga sejalan dengan IKI pada Juli 2025 sebesar 52,89, naik 1,05 poin dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 51,84, dan lebih tinggi 0,49 poin dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
"Tren positif ini mencerminkan optimisme dan ketahanan pelaku industri nasional di tengah tekanan global," katanya.
Ia menambahkan, geliat pertumbuhan manufaktur tidak hanya tercermin dari angka statistik, tetapi juga dari aktivitas nyata di lapangan. Pada semester I 2025, tercatat sebanyak 1.641 perusahaan telah melaporkan pembangunan fasilitas produksi baru melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) dengan nilai investasi mencapai Rp803,2 triliun. Dampak langsung dari ekspansi industri ini adalah penyerapan tenaga kerja baru yang diperkirakan mencapai 303.000 orang.
Jubir Kemenperin menegaskan pihaknya tidak menggunakan hasil data PMI manufaktur global sebagai dasar analisis atau perumusan kebijakan dalam negeri. Dalam merumuskan kebijakan, Kemenperin menggunakan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) dan PMI BI.
Pertimbangannya karena jumlah perusahaan industri yang jadi sampel rata-rata dalam IKI ialah 3.100 perusahaan tiap bulannya, sementara survei PMI S&P Global tidak lebih dari 500 perusahaan industri per survei. Selain itu, lanjut Febri, dengan IKI bisa diketahui kinerja masing-masing subsektor Industri Pengolahan Non Migas. IKI diolah oleh pakar statistik IPB dan divalidasi oleh ekonom UI.
IKI dihimpun berdasarkan survei langsung kepada pelaku industri dari 23 subsektor manufaktur, mencakup aspek produksi, permintaan ekspor dan domestik, utilisasi kapasitas, tenaga kerja, hingga ekspektasi bisnis ke depan.
Sehingga, menurut Febri, kinerja manufaktur dikatakan lebih akurat dengan IKI dan PMI BI dibandingkan dengan indikator kinerja manufaktur lainnya.
"Kami menghargai hasil survei PMI sebagai referensi umum, tapi dalam merumuskan kebijakan, Kemenperin menggunakan IKI dan PMI BI," katanya.
Kemenperin optimistis pertumbuhan dan kontribusi industri manufaktur masih bisa lebih tinggi lagi jika kebijakan pro-industri diberlakukan. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang berpihak dan melindungi industri dalam negeri yang sangat penting guna membangkitkan kinerja manufaktur nasional secara berkelanjutan.
"Dengan kebijakan yang kurang mendukung manufaktur saja sudah mencapai pertumbuhan 5,60%. Apalagi jika kebijakan yang pro industri diberlakukan, tentu pertumbuhan manufaktur melesat lebih tinggi lagi," singgung Febri.