Di era sekarang, hidup seperti penuh warna, penuh pilihan, dan semuanya tampak menarik. Kita dibesarkan dengan keyakinan bahwa banyak pilihan adalah bentuk kebebasan. Namun, di balik itu, muncul fenomena yang jarang dibicarakan rasa lelah karena terlalu banyak yang bisa dipilih. Alih-alih merasa merdeka, banyak orang justru terjebak dalam kebingungan yang membuat langkahnya ragu. Kebebasan yang diidamkan berubah menjadi beban yang menguras energi mental, membuat setiap keputusan, sekecil apa pun, terasa melelahkan.
Pilihan hampir semua aspek hidup. Mulai dari hal sederhana seperti memutuskan menu makan siang, memilih film di platform streaming, hingga menentukan jalur karier yang akan ditempuh. Di media sosial, rekomendasi terus membanjir, memaksa otak untuk menimbang ratusan opsi dalam waktu singkat. Kita tidak lagi hanya memilih apa yang kita suka, tapi juga harus memikirkan apakah pilihan itu cukup “baik” dibanding opsi lainnya. Tekanan untuk membuat keputusan yang sempurna membuat otak bekerja tanpa henti, bahkan untuk hal-hal sepele.
Fenomena ini dikenal dengan istilah overchoice kelebihan pilihan yang justru membuat kita sulit memilih. Semakin banyak opsi, semakin besar pula risiko kita merasa tidak puas dengan keputusan yang diambil. Ada rasa takut kalau pilihan lain sebenarnya lebih baik, yang dalam psikologi disebut FOMO (Fear of Missing Out). Hasilnya, bukan hanya sulit memutuskan, tapi juga rentan menyesal setelah keputusan dibuat. Kita hidup dalam ketidakpuasan yang terus diperbarui oleh informasi dan perbandingan.
Teknologi yang awalnya dimaksudkan untuk memudahkan hidup justru memperparah masalah ini. Mesin pencarian, e-commerce, media sosial Semuanya berlomba-lomba memberikan “lebih banyak” agar pengguna betah. Namun, semakin banyak yang diberikan, semakin kita kewalahan. Algoritma memposisikan diri sebagai sahabat yang mengenal selera kita, padahal sering kali membuat kita bingung dengan terlalu banyak opsi yang “terlalu cocok” hingga sulit menentukan prioritas.
Beban ini terasa lebih berat pada generasi muda, yang tumbuh di era pilihan tidak terbatas. Mereka dibesarkan dengan ide bahwa masa depan bisa menjadi apa saja seperti dokter, penulis, pebisnis, desainer, bahkan profesi yang belum ada sekarang. Kebebasan ini memang terdengar indah, tapi sekaligus menciptakan kecemasan eksistensial, bagaimana jika jalan yang dipilih salah? Bagaimana kalau ada peluang yang lebih baik tapi terlewat? Pertanyaan-pertanyaan ini membentuk tekanan yang menggerogoti rasa percaya diri.
Tidak jarang, banyak orang akhirnya memilih untuk tidak memilih. Overchoice membuat seseorang menunda keputusan karena takut menyesal. Kita jadi berlama-lama di depan layar, menggulir katalog atau daftar film, hanya untuk akhirnya memilih tidak menonton apa-apa. Waktu habis, energi terkuras, tapi keputusan tidak juga diambil. Ini bukan sekadar kebiasaan buruk, melainkan terlalu banyak opsi tanpa memadai untuk mengelolanya.
Lebih jauh lagi, overchoice memengaruhi kepuasan hidup secara keseluruhan. Ketika pilihan begitu banyak, standar “cukup baik” naik tanpa kita sadari. Makanan yang enak terasa kurang spesial karena tahu ada restoran lain yang katanya lebih enak. Pekerjaan yang layak dianggap membosankan karena di luar sana ada orang yang terlihat lebih bahagia dengan kariernya. Hidup jadi serangkaian perbandingan yang tak pernah selesai, membuat kita sulit merasa cukup.
Masalah ini jarang dibicarakan karena secara permukaan terlihat sebagai “privilege” punya banyak pilihan dianggap lebih baik daripada tidak punya sama sekali. Namun, seperti halnya makanan, terlalu banyak pun bisa membuat sakit. Kelelahan mental akibat banjir pilihan tidak selalu terlihat, tapi dampaknya nyata kecemasan, penundaan, dan ketidakpuasan kronis. Ini seperti terjebak di taman bermain raksasa yang penuh wahana, tapi kita terlalu sibuk memilih hingga tak pernah benar-benar bermain.
Solusi dari masalah ini bukan menghapus pilihan, melainkan belajar membatasi dan memprioritaskan. Menyadari bahwa tidak semua opsi perlu dipertimbangkan adalah langkah awal yang penting. Mengurangi jumlah informasi yang masuk, membatasi paparan media sosial, dan membuat aturan sederhana untuk pengambilan keputusan bisa membantu. Prinsip “cukup baik” kadang lebih menenangkan daripada mengejar yang “sempurna”.
Kita juga perlu menerima bahwa setiap pilihan berarti kehilangan yang lain. Melepaskan adalah bagian alami dari hidup, dan itu bukan kegagalan. Justru dengan menerima keterbatasan, kita bisa benar-benar menikmati apa yang ada di depan mata. Tidak semua peluang harus diraih, dan tidak semua jalan harus dicoba. Hidup bukan soal mencoba segalanya, tapi memilih yang paling selaras dengan diri kita saat ini.
Generasi ini perlu mengubah cara pandang terhadap kebebasan. Kebebasan bukan berarti memiliki semua opsi, tapi memiliki kendali untuk mengatakan “tidak” pada yang tidak penting. Dengan begitu, kita bisa membangun ruang mental untuk fokus, menikmati, dan benar-benar hadir dalam hidup. Tanpa tekanan untuk membandingkan setiap langkah dengan kemungkinan yang tak terbatas.