
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai partai-partai politik maupun para politisi tak suka dengan proses judicial review terhadap Undang-Undang di MK maupun ke Mahkamah Agung (MA).
Belakangan DPR dan pemerintah memang tengah dibuat geger karena putusan MK soal pemisahan Pemilu. DPR menilai, dijalankan atau tidak putusan MK itu justru melanggar konstitusi yang berlaku saat ini.
“Jadi dalam sejarah memang semua politikus, semua anggota parlemen di seluruh dunia tidak suka kepada judicial review baik yang diadakan oleh MK ataupun Mahkamah Agung dalam sistem Amerika,” kata Jimly dalam rapat Baleg DPR, Rabu (9/7).
Jimly saat itu tengah dimintai pandangan soal penyusunan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Jimly menilai, Amerika Serikat dan negara-negara persemakmuran Amerika itu memang tidak memiliki MK, namun memiliki MA sebagai pengadilan tertinggi dalam sistem peradilan negara.
Ia menjelaskan, dengan sistem seperti itu, memungkinkan siapa saja untuk mengajukan judicial review.
“Di ruangan ini banyak yang tidak suka dengan putusan MK yang terakhir. Nah biasalah itu, enggak apa-apa,” tuturnya.
“Ketemu satu ayat yang merugikan ajukan judicial review, dua ayat ajukan, ada masyarakat hukum adat di Papua tidak suka kepada satu ayat, undang-undang kehutanan diajukan, tapi begitu diputus oleh sembilan orang (Hakim), dampaknya ke 280 juta orang,” kata Jimly.

Dalam putusan MK, pemilu dipisah antara pemilu nasional dan lokal. Pemilu nasional meliputi Pileg DPR-DPD dan pemilihan presiden-wakil presiden. Waktu pemilu ini sesuai dengan jadwal, yakni 2029.
Sementara, pemilu lokal yang meliputi Pileg DPRD provinsi, kabupaten, kota, dan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, waktunya berbeda.
Putusan MK menyebut, pemilu lokal bisa digelar paling cepat 2 tahun atau paling lambat 2 tahun 6 bulan setelah DPR dan presiden-wakil presiden dilantik.