REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aris Rakhmadi (Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS); Program Studi Informatika Program Doktor (S3 DIFA) Universitas Ahmad Dahlan (UAD))
Setiap bulan Agustus, langit Indonesia dihiasi semangat merah putih. Lagu-lagu perjuangan bergema dari sekolah hingga pelosok desa. Masyarakat bergotong royong menghias lingkungan, mengikuti lomba rakyat, dan memperingati detik-detik proklamasi dengan khidmat. Namun di balik semua euforia itu, ada pertanyaan penting yang perlu kita renungkan bersama: udahkah makna kemerdekaan itu benar-benar kita rasakan dalam seluruh aspek kehidupan?
Kemerdekaan yang diraih pada 17 Agustus 1945 adalah buah dari perjuangan panjang melawan penjajahan fisik. Tapi dunia telah berubah. Penjajahan masa kini tidak selalu datang dengan senjata dan kapal perang. Ia hadir secara senyap, lewat jaringan kabel optik, gelombang radio, server, algoritma, dan aplikasi yang menyusup ke ruang pribadi kita. Inilah era digital, di mana informasi menjadi senjata dan data menjadi kekayaan paling berharga.
Kini, bangsa Indonesia menghadapi tantangan baru yang tak kalah genting: Bagaimana menjaga kedaulatan digital, terutama dalam penguasaan dan pengelolaan data warga. Ketika setiap aktivitas—belanja, belajar, bekerja, hingga ibadah—terhubung ke internet, data kita tersebar, dikumpulkan, diproses, dan sering kali dikendalikan oleh pihak yang bahkan tidak tinggal di Indonesia.
Di zaman ini, data adalah aset strategis, nilainya tak kalah penting dibanding kekayaan alam. Data telah menjadi komoditas global. Perusahaan teknologi raksasa bisa memetakan perilaku, pola konsumsi, hingga kecenderungan politik masyarakat suatu negara hanya dari data yang dikumpulkan sehari-hari melalui gawai, aplikasi, dan layanan daring. Ironisnya, banyak dari data tersebut tidak sepenuhnya dikelola oleh bangsa sendiri, melainkan oleh korporasi asing yang punya kekuatan teknologi dan kapital yang besar.
Beberapa waktu lalu, sempat mencuat kabar bahwa Amerika Serikat ingin agar data warga Indonesia dikelola oleh pihak mereka. Meski isu itu telah dibantah secara resmi, kegelisahan publik tak serta-merta hilang. Kekhawatiran bukan hanya soal permintaan eksplisit, tetapi tentang ketergantungan kita terhadap infrastruktur digital asing. Banyak layanan penyimpanan data, komputasi awan, hingga sistem informasi publik yang bertumpu pada teknologi luar negeri.
Apakah kita benar-benar merdeka jika server yang menyimpan data kependudukan kita ada di luar negeri? Apakah kita aman jika regulasi negara asing bisa sewaktu-waktu meminta akses ke data warga Indonesia? Di tengah ketegangan geopolitik global, penguasaan data bisa menjadi alat intervensi baru—lebih halus, lebih masif, dan lebih sulit dilawan.
Kemerdekaan bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tapi juga dari kendali yang tak kasat mata. Kemerdekaan digital menuntut kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri, termasuk di ruang siber. Kita harus punya sistem penyimpanan data nasional, layanan teknologi yang berdaulat, serta kebijakan perlindungan data yang berpihak pada rakyat. Dalam hal ini, pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) menjadi pijakan utama, meski masih butuh komitmen kuat dalam implementasinya.
Penting pula untuk mendorong literasi digital masyarakat. Data bukan hanya urusan pemerintah atau korporasi, tetapi juga tanggung jawab setiap individu. Rakyat perlu memahami nilai datanya sendiri dan tidak sembarangan membagikannya tanpa perlindungan memadai. Sama seperti kita menjaga identitas dan martabat bangsa, data pribadi pun harus dijaga dengan kesadaran nasional.
Generasi muda Indonesia, yang tumbuh dalam era teknologi, memegang peran penting dalam perjuangan baru ini. Jika dulu mereka turun ke medan perang, kini mereka bisa berjuang lewat inovasi, riset, pengembangan teknologi lokal, dan penguatan etika digital. Semangat merdeka kini berarti berani mandiri dalam teknologi, dan tidak mudah tunduk pada dominasi digital global.
Tentu, kita tak bisa menutup diri dari kerja sama internasional. Tapi kerja sama harus dibangun atas dasar kesetaraan, bukan ketergantungan. Kita boleh terbuka, tapi jangan kehilangan kendali. Sudah seharusnya kita berperan aktif, bukan sekadar pengamat di rumah sendiri—tempat segala sesuatu dijalankan oleh sistem asing yang tak kita pahami dan tak bisa kita kontrol.
Saat kita mengibarkan merah putih di langit Indonesia, mari pastikan bendera itu juga berkibar kokoh di dunia maya. Karena kemerdekaan sejati bukan hanya diraih, tetapi juga terus dijaga. Dan hari ini, menjaganya berarti juga menjaga data kita sendiri.