Aktivis yang tergabung dalam Bandung Spirit For Palestine menempelkan poster PM Israel Benjamin Netanyahu saat aksi solidaritas seni untuk Palestina di kawasan jalan Asia Afrika Bandung, Jawa Barat, Jumat (25/4/2025). Aksi tersebut sebagai seruan dukungan dihentikannya kekerasan serta kejahatan kemanusiaan oleh Israel terhadap warga Palestina sekaligus bentuk protes ditiadakannya pertemuan peringatan Ke-70 Tahun Konferensi Asia Afrika yang dinilai bisa menjadi wadah semangat solidaritas antar negara Asia Afrika dalam mendukung kemerdekaan Palestina.
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV— Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh surat kabar berbahasa Ibrani, Zaman Israel, Eyal Rotfeld menyamakan realitas politik di Israel pada 2025 dengan negara totaliter yang digambarkan oleh penulis Inggris George Orwell dalam novelnya yang terkenal, "1984".
Penulis tersebut percaya bahwa apa yang diramalkan oleh Orwell hampir delapan dekade yang lalu tidak lagi hanya fantasi gelap, tetapi telah berubah menjadi realitas yang hidup di Israel, disiarkan secara langsung di layar televisi dan menyebar melalui platform media sosial.
Dia menambahkan, "1984" tidak menua, tetapi meremajakan, bukan sebagai karya sastra klasik, tetapi sebagai lonceng peringatan tentang kemunduran masyarakat di bawah rezim-rezim penindas yang memalsukan fakta dan memerintah dengan memunculkan ketakutan dan opini publik yang menyesatkan.
Kediktatoran dengan jenis berbeda
Menurut penulis, apa yang terjadi di Israel di bawah pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan "revolusi partai" yang melanda negara tersebut lebih dari satu dekade lalu, telah melampaui ramalan Orwell.
Novelis Inggris ini menggambarkan rezim totaliter pemerintah melalui penindasan brutal dan pengendalian pikiran.
BACA JUGA: ‘Mereka Makan Apa yang Kami Makan’: Lagi, Tentara Israel yang Disandera di Gaza Meratap
Sementara kediktatoran jenis baru terbentuk di Israel, meski tidak bergantung pada hukum yang represif, tetapi menggunakan alat demokratis— seolah-olah— untuk membangun hegemoni intelektual dan media yang mencekik.
Penulis menunjukkan bahwa otoritas di Israel tidak memalsukan sejarah secara diam-diam, seperti yang dilakukan rezim-rezim represif di masa lalu, tetapi di depan publik, di depan lensa kamera, dan melalui cuitan, pidato, dan pernyataan para politisi yang disiarkan televisi.