REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Yassar Aulia, mengkritisi keterbukaan informasi Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Menurutnya, sovereign wealth fund (SWF) Indonesia tersebut nihil transparansi publik.
“Dari aspek transparansi, bisa dibilang Danantara nihil dalam kaitannya dengan keterbukaan publik,” ujar Yassar dalam acara peluncuran Danantaramonitor.org di Celios Hub, Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Yassar menyinggung dasar hukum pembentukan Danantara yang menggunakan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). UU tersebut, menurutnya, disahkan secara kilat tanpa kejelasan rancangan undang-undang (RUU).
“Undang-undang ini disahkan secara mendadak, tidak ada naskah RUU-nya, apalagi partisipasi bermakna. Setelah disahkan pada 4 Februari 2025, berdasarkan pemantauan ICW, setidaknya kurang lebih satu bulan pasca-diumumkan di rapat paripurna, dokumen salinannya tidak ditemukan di kanal resmi pemerintah maupun DPR. Jadi, nihil transparansi dokumennya,” kata dia.
Selain itu, Yassar mengkritisi situs resmi Danantara yang minim informasi. Menurutnya, isi situs danantaraindonesia.com hanya “menjual mimpi”. “Cuma menjual mimpi. Bahkan struktur organisasinya tidak ada di situs resmi. Jadi, informasinya sangat minim,” tuturnya.
Lebih lanjut, Yassar mengungkapkan, ketiadaan transparansi publik juga tampak dari agenda-agenda Danantara yang banyak digelar secara tertutup, bahkan bagi awak media yang bertugas meliput agenda pemerintah.
Ia menilai, fenomena tersebut mencerminkan puncak gunung es dari cara Danantara dijalankan tanpa keterbukaan. Misalnya, agenda pengesahan, sejumlah rapat dengan DPR, hingga town hall digelar tanpa akses pers.
“Bahkan pers tidak bisa meliput. Itulah potret transparansi Danantara. Jangankan dokumen, rapat dengan mitra DPR saja tidak bisa diliput, apalagi partisipasi publik yang bermakna,” tegasnya.