Hasil dari proses pendidikan ialah menciptakan manusia seutuhnya. Ki Hajar Dewantara mengungkapkan bahwa pendidikan adalah usaha menuntun kekuatan kodrat pada anak agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan lahir dan batin.
Untuk mencapai itu semua, proses pembelajaran yang terjadi jangan hanya bersifat formalistik atau hanya sekadar mentransfer ilmu kepada peserta didik. Jauh dari itu, pendidikan dapat mengantarkan peserta didik menempuh perubahan kea rah positif, baik secara tingkah laku maupun pikiran.
Para pemikir pendidikan yang konsen terhadap bagaimana pembentukan manusia seutuhnya, sangat khawatir dengan model pendidikan saat ini. walaupun gagasan mereka lahir pada generasi jauh saat ini, namun masih sangat relevan dalam realitas pendidikan.
Paulo Freire misalnya, menekankan agar proses pembelajaran tidak dilakukan dengan gaya Bank. uru digambarkan sebagai nasabah bank yang menabung uang, sedangkan siswa adalah banknya. Pola pendidikan ini justru mengerdilkan siswa dan tidak dapat berkembang secara akademik.
Carl R Rogers juga mencoba melihat pendidikan dari sisi humanisasi. Menurut konsep ini bahwa pengalaman seseorang di dalam hidupnya akan menentukan masukan-masukan yang nantinya akan diterima olehnya, sehingga masukan-masukan tersebut akan mengarahkan hidupnya secara mutlak ke arah pemenuhan-pemenuhan kebutuhan di dalam dirinya. Dari pengalaman-pengalaman itulah, peserta didik akan menemukan sesuatu yang berbeda yang mampu meningkatkan semangat peserta didik.
Beberapa teori pendidikan yang lainnya juga memberikan warna baru terhadap perkembangan pendidikan. Dalam konteks Tes kemampuan akademik (TKA) yang telah ditetapkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), memiliki relevansi dengan teori-teori belajar yang ada.
TKA dilihat dari sisi humanisasi, memberikan ruang yang begitu besar kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya. Tes atau evaluasi dilakukan seharusnya mampu memberikan feedback yang dapat membangun, memotivasi serta mendukung perkembangan peserta didik.
Saya melihat TKA adalah sebuah alat evaluasi akademik untuk mengukur hasil belajar peserta didik secara egaliter. TKA dalam proses pembuatan soalnya melibatkan daerah dan menggunakan pendekatan penilaian, agar hasil tes benar-benar mencerminkan potensi unik siswa, bukan sekadar kemampuan akademik umum.
TKA juga bukanlah sebagai pengganti dari ujian-ujian di sekolah ataupun menghilangkan peran guru sebagai penilai utama. Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Toni Toharudin (2025) bahwa TKA bukanlah reinkarnasi dari ujian nasional yang menjadi penilai utama kelulusan siswa dan tidak akan menggeser guru dari posisinya sebagai pendidik dan penilai.
Selama ini proses penilaian yang dilakukan tidak mempertimbangkan aspek daerah yang menjadi ujung tombak pendidikan. Pemerintah pusat dengan sistem evaluasi saat ini, cenderung tidak mempertimbangkan berbagai kegiatan teknis dalam menentukan metode dan format penilaian yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, termasuk faktor kedaerahan.
Secara filosofis, kehadiran TKA merupakan refleksi panjang terhadap system evaluasi pendidikan selama ini kita gunakan. Sejak tahun 1950-1964 kita telah mengenal sistem evaluasi dengan sebutan Ujian Penghabisan (UP) bentuk soal ujiannya ialah essay. Kita belum melihat bagaimana sisi pemerataan pendidikan dalam hal ukuran capaian akademik.
Masih teringat, bagaimana dulu anak-anak di pelosok desa yang tidak pernah tahu di mana Monas berada ditanyakan soal itu dalam ujian nasional tingkat sekolah dasar. Bagi anak-anak kota, jawabannya sudah pasti tahu, sementara anak-anak di pelosok belum tentu tahu di mana Monas itu berada. Ini menunjukkan belum adanya pemerataan pendidikan yang adil.
TKA bukan hanya sekadar ujian, tetapi instrumen yang berupaya menilai sejauh mana seseorang menguasai kemampuan berpikir logis, analitis, dan pemecahan masalah. TKA hadir untuk menjawab berbagai tantangan evaluasi pendidikan, yang selama ini proses seleksi penerimaan peserta didik baik di sekolah maupun perguruan tinggi yang tidak akuntabel dan adil. Olehnya itu, TKA dapat memberikan ruang yang sama terhadap setiap anak untuk mengejar cita-citanya.
Tes kemampuan akademik dirancang dengan mempertimbangkan aspek kedaerahan. Olehnya itu, menurut Prof Abdul Mu’ti dalam proses pembuatan soal TKA, Mendikdasmen melakukan kolaborasi dengan pemerintah daerah untuk membuat soal TKA pada tingkat sekolah dasar dan menengah pertama.
Sebagaimana penjelasan di atas, kehadiran TKA sebagai alternatif bagi sekolah dan guru dalam melakukan evaluasi pendidikan. Pada aspek psikologis, seorang anak yang mengikuti ujian dan mendapatkan hasil yang kurang maksimal, seringkali menjadi bahan penghakiman, baik dari guru maupun lingkungannya. Karena paradigma evaluasi yang terbangun saat ini, ialah siapa yang mendapatkan nilai tinggi akan disanjung dan nilai rendah akan dikucilkan.
Ke...