
Ketua PBNU, Ulil Abshar Abdalla, meluruskan makna di balik istilah 'Wahabi lingkungan' yang sempat ia utarakan dan menuai kontroversi di ruang publik.
Istilah tersebut, kata dia, bukan ditujukan pada isu spesifik seperti polemik pertambangan di Raja Ampat, melainkan kritik terhadap pandangan ekstrem dalam aktivitas lingkungan.
"Jadi sebetulnya sikap saya itu terkait dengan kontroversi mengenai soal Raja Ampat itu. Itu tidak spesifik mengenai soal Raja Ampat. Saya ingin menegaskan bahwa kita harus mempunyai visi yang clear tentang masalah sumber daya alam ini," kata pengurus PBNU yang akrab disapa Gus Ulil saat ditemui usai konferensi pers ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) di Gedung Graha Oikumene, Salemba, Jakarta Pusat, Senin (23/6).
Menurutnya, sebagian aktivis lingkungan mengusung pandangan absolut bahwa seluruh bentuk pertambangan harus dihentikan.
Pandangan semacam ini, lanjutnya, berkembang dari Barat dan dianggap tidak cocok diterapkan dalam konteks negara kaya sumber daya seperti Indonesia.
"Sebetulnya pandangan seperti ini berkembang dari barat. Ada satu pandangan bahwa mining, penambangan dalam bentuk apa pun, industri ekstraktif dalam bentuk apa pun harus dihentikan. Dan bagi saya ini tidak menguntungkan bagi negara yang punya sumber daya alam," ujarnya.

Ulil menilai kedua kutub ekstrem dalam isu pertambangan, baik eksploitasi brutal oleh korporasi maupun pelarangan total oleh aktivis, sama-sama membahayakan. Ia menawarkan pendekatan jalan tengah yang disebutnya sebagai good mining atau reasonable environmentalism.
"Kita harus menempuh jalan tengah. Apa jalan tengahnya? Kita kelola pertambangan ini secara bertanggung jawab. Itu yang saya sebut dengan good mining," tegasnya.
Ia menjelaskan, 'Wahabi lingkungan' adalah metafora bagi sikap puritan dalam menjaga alam, yang menolak keterlibatan manusia dalam pengelolaannya secara total.
"Itu yang saya sebut dengan wahabi lingkungan. Jadi wahabi lingkungan artinya orang yang ingin menjaga kemurnian alam. Kemurnian alam ini harus dijaga supaya murni tidak diganggu oleh manusia. Ini semacam puritanisme. Sama dengan dalam wahabi ada puritanisme tekstual. Di sini ada puritanisme lingkungan. Nah, dua-duanya berbahaya," terangnya.
Ulil menyadari bahwa kerusakan akibat praktik pertambangan kotor, terutama yang dilakukan korporasi atau ilegal, juga merupakan masalah serius. Namun menurutnya, solusinya bukan dengan melarang pertambangan sama sekali, melainkan mendorong model pengelolaan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
"Menambang, mengelola tapi secara tidak bertanggung jawab seperti yang dipraktikkan oleh korporasi itu. Nah, itu berbahaya juga. Kita juga tidak setuju praktik penambangan apalagi yang ilegal," tambahnya.
Ia menyoroti bahwa praktik penambangan ilegal di Raja Ampat memang nyata dan perlu ditindak. Namun, hal tersebut tidak seharusnya menghalangi diskursus mengenai pengelolaan sumber daya alam yang sehat dan menguntungkan publik.
"Pertambangan yang baik, yang good mining, kita dorong karena ini adalah akan membawa keuntungan bagi publik," tutupnya.