REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Prabowo Subianto menetapkan pangan sebagai salah satu sektor krusial yang menjadi fokus pengelolaan. Prabowo dan jajarannya terus mendengungkan gagasan swasembada pangan, wujud kedaulatan suatu negara.
Lantas apakah alurnya sudah menuju apa yang ditargetkan? Bicara tentang pangan, terdapat beberapa komoditas strategis. Tentunya bukan hanya beras, tapi juga ada jagung, kedelai, daging, dan sebagainya.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data sepanjang Januari hingga Juni 2025, total produksi beras mencapai 19,16 juta ton. Angka demikian menunjukkan peningkatan 13,53 persen dibanding periode serupa tahun sebelumnya. Untuk kuartal III, BPS memprediksi produksi beras sebesar 9,08 juta ton, meningkat 11,17 persen dibandingkan periode yang sama pada 2024.
Kemudian, masih berdasarkan data BPS, produksi jagung pipilan kering dengan kadar air 14 persen pada periode Januari-Juni 2025 mencapai 8,07 juta ton. Terjadi peningkatan 12,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Saat itu di angka 7,15 juta ton. Sementara dua komoditas lainnya, yakni kedelai dan daging, tetap masih bergantung pada impor demi memenuhi kebutuhan domestik.
Sebagai gambaran, menilik catatan BPS, total impor kedelai dalam delapan tahun terakhir (2017-2024) menyentuh angka 20.168.263 ton. Sebanyak 18.317.980,9 ton berasal dari Amerika Serikat (AS). Selama periode tersebut, secara keseluruhan impor tertinggi pada 2017, yakni 2.671.914,1 ton. Saat itu produksi lokal, kurang lebih 538.729 ton.
Demikian juga dengan daging. Menurut BPS, salah satu contoh, total impor daging sejenis lembu selama periode 2018-2024 sebesar 1.383.818,8 ton. Terbanyak di tahun 2023 lalu, yakni 238.433,6 ton. Saat itu produksi lokal sekitar 438 ribu ton alias hanya mencukupi sebagian dari kebutuhan nasional, 724,2 ribu ton.
Dari gambaran di atas, terlihat beras dan jagung menuju alur yang direncanakan, jika konteksnya adalah swasembada. Beberapa lainnya masih butuh tambahan dari impor demi memenuhi ketahanan pangan nasional. Di sejumlah kesempatan, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman terus menegaskan pentingnya optimalisasi pemenuhan kebutuhan pangan untuk masyarakat dari Sabang-Merauke.
"Kalau pangan bermasalah, negara bermasalah," ujar Amran.
Bicara tentang pengelolaan pangan agar tetap dalam kondisi ideal, tak terlepas dari tantangan di lapangan. Itu termasuk tingginya biaya produksi akibat harga pupuk semakin tidak terkendali. Keadaan demikian berhubungan dengan sejumlah permasalahan di level global.
Menurut Kementerian Pertanian (Kementan), harga pupuk naik karena kondisi dunia sedang tidak stabil. Penyebabnya mulai dari konflik antarnegara, harga gas alam yang fluktuatif, hingga negara-negara penghasil produk membatasi ekspor mereka.