
Peringkat daya saing Indonesia anjlok tajam dalam laporan World Competitiveness Ranking (WCR) 2025 yang dirilis IMD World Competitiveness Center (WCC). Dari 69 negara, posisi Indonesia merosot ke peringkat 40, turun 13 peringkat dibandingkan tahun lalu. Padahal, selama tiga tahun terakhir, tren Indonesia sempat menanjak: dari peringkat 44 pada 2022, menjadi 34 di 2023, lalu naik ke 27 pada 2024.
Penurunan tajam ini menjadi sorotan para ekonom karena bisa mempengaruhi persepsi global terhadap iklim usaha dan arah kebijakan Indonesia ke depan. Ekonom dari CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyebut sinyal ini sebagai alarm serius.
"Ini bukan sekadar angka, ini mencerminkan persepsi global terhadap efektivitas kebijakan ekonomi dan kesiapan kita dalam bersaing di tingkat internasional," ujarnya kepada kumparan, Jumat (20/6).
Dari sudut pandang investor, kata Yusuf, peringkat daya saing adalah indikator penting. Ketika skor memburuk, muncul keraguan terhadap kepastian hukum, efisiensi birokrasi, dan arah kebijakan pemerintah. Dalam konteks persaingan antarnegara di kawasan Asia Tenggara, persepsi seperti ini bisa memengaruhi arus investasi secara langsung.
Senada, ekonom dari Celios, Nailul Huda, menyoroti dua indikator yang mengalami penurunan paling tajam dalam laporan WCR: efisiensi pemerintah dan efisiensi bisnis. Menurutnya, sub-komponen institutional framework merosot 26 peringkat, sinyal bahwa kebijakan pemerintah belum mendukung daya saing secara optimal. Ia juga menyoroti persoalan-persoalan domestik, termasuk campur tangan aparat militer di sektor ekonomi, yang menurutnya justru menambah ketidakpastian bagi pelaku usaha.
"Termasuk juga masalah premanisme, kegalauan masuk BRICS atau OECD, dan kebijakan yang memasukkan TNI di beberapa sektor terkait ekonomi. Terakhir Dirjen Bea Cukai juga dari TNI. Ini yang menyebabkan bisnis tidak efisien," jelas Huda.
Ia menambahkan, indikator Incremental Capital to Output Ratio (ICOR) Indonesia yang tinggi menunjukkan rendahnya efisiensi investasi. Kondisi ini membuat investor ragu menanamkan modalnya di Indonesia, apalagi jika dibandingkan dengan Malaysia yang tahun ini justru mencatat kenaikan peringkat.
Selain problem kebijakan, daya saing Indonesia juga dinilai tertinggal dari negara-negara tetangga dalam hal transformasi digital, transisi energi, dan efisiensi layanan publik. Menurut Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, Indonesia memang agak tertinggal dari Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam dalam menyikapi perubahan global.
Namun begitu, ia menilai posisi Indonesia yang sejajar dengan negara-negara seperti Spanyol, Prancis, Jepang, dan Portugal masih bisa dianggap cukup baik, meskipun perlu diwaspadai.
"Berada pada posisi 40 dari 69 negara, tentunya bukan sesuatu yang menyenangkan, apalagi turun 13 peringkat dalam 1 tahun. Tetapi bahwa Indonesia hampir sejajar dengan Spanyol (39), New Zealand (31), France (32), Japan (35), dan Portugal (37) rasanya agak menggembirakan," kata Wija.
Ia juga menyoroti fluktuasi peringkat daya saing terjadi cukup dinamis selama lima tahun terakhir tanpa ada perubahan signifikan di lapangan. Karena itu, menurutnya, laporan ini bisa dijadikan pemicu perbaikan, meskipun ia menganggap metodologi pemeringkatan masih belum sepenuhnya stabil sebagai produk akademik.
Ketiga ekonom sepakat, pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret untuk memperbaiki daya saing nasional. Pembenahan regulasi dan efisiensi birokrasi menjadi prioritas jangka pendek, sementara peningkatan kualitas sumber daya manusia dan percepatan adopsi teknologi hijau menjadi agenda jangka menengah.
"Pemerintah perlu selalu memperbaiki iklim usaha. Regulasi yang pasti dan sederhana masih belum kita miliki dan perlu segera diwujudkan," kata Wija.
Ia juga menekankan pentingnya infrastruktur yang efisien, perbaikan kualitas internet, serta pembaruan sistem pendidikan agar sesuai dengan kebutuhan zaman.