REPUBLIKA.CO.ID, SUBANG -- Jalan Raya Subang-Bandung di Kabupaten Subang, Jawa Barat kini senyap. Kerlap-kerlip sorot lampu dari warung-warung sekarang sudah hilang. Karena, warung-warung itu sudah dibongkar Pemprov Jawa Barat.
Kondisi itu dibuktikan pada Senin (18/8/2025) malam. Tidak ada lagi terang dari ratusan warung yang biasa menjajakan makanan sederhana seperti jagung bakar, ulen bakar, sate, mie instan dan menu lainnya dari mulai kawasan Tangkuban Parahu hingga Ciater.
Hilang juga rasa aman terutama buat mereka pemotor yang datang dari arah Subang menuju Lembang maupun sebaliknya. Padahal dulunya, warung-warung yang berjejer itu seperti menjadi 'juru selamat'. Jika hujan, maka menjadi tempat berteduh. Jika lelah, juga menjadi tempat merebahkan badan hingga mengikis rasa takut.
"Kalau buat saya pas ada warung sebetulnya sangat bermanfaat. Kalau sekarang mah lumayan serem, takut begal dan sebagainya," ujar Wisnu Pradana (34), salah seorang pengendara sepeda motor.
Wisnu mengaku, jika melakukan perjalanan ke arah Subang, warung di sepanjang Jalan Raya Subang-Bandung menjadi tempat favorit untuk disinggahi. Sebab di sana Wisnu bisa makan sambil menikmati pemandangan. "Kalau lewat sini pasti mampir dulu jajan di warung mau malam atau siang. Biasanya makan mie instan atau ulen sambil nikmati udara yang sejuk," katanya.
Kenangan akan warung atau kios di sepanjang Jalan Raya Subang (Tangkuban Parahu-Ciater) juga dikatakan Alifia (30), warga asal Purwakarta. Ia mengaku kerap mendatangi warung di kawasan tersebut hanya untuk menikmati mie instan.
"Kalau lewat jalur sini pasti mampir, kadang juga sengaja jauh-jauh cuma pengen makan mie instan di sini," kata Alifia.
Alifia mengaku, baru mengetahui adanya pembongkaran warung-warung di kawasan wisata itu dari pemberitaan dan media sosial. "Sekarang tempat favoritnya udah enggak ada. Tapi mau bagaimana lagi kan sudah dibongkar," kata dia.
Awal mula keberadaan warung-warung di kawasan wisata itu diceritakan Iwan (50), salah seorang pedagang. Menurutnya, bangunan semi permanen ini dibangun oleh para mantan pekerja perkebunan yang kehilangan pekerjaan akibat krisis moneter pada akhir 1990-an. Mereka kemudian mencari penghidupan baru dengan berjualan di pinggir jalan.
"Dulu ada penjemputan kerja ke perkebunan PTPN. Setelah krisis moneter tahun 1998, banyak yang diberhentikan. Akhirnya kami bikin warung di pinggir jalan," kata Iwan, Senin (18/8/2025).
Mulanya, kata dia, terdapat sekitar 60 warung berukuran seragam 2x4 meter di sepanjang jalur Tangkuban Parahu hingga Dayang Sumbi Subang. Semuanya dibangun secara semi permanen dari kayu dan seng sesuai kesepakatan tidak tertulis dengan pihak PTPN. Mereka diizinkan membangun asal bersedia membongkar kapan pun jika dibutuhkan perusahaan.
Saat itu, pemandian air panas Ciater mulai populer sebagai destinasi wisata. Momentum ini dimanfaatkan warga sekitar untuk membuka usaha kecil menyasar wisatawan maupun pengendara yang melintas. "Dari awal kami sudah tahu ini bukan tanah milik pribadi. Jadi kami siap kalau suatu saat diminta untuk bongkar," katanya.
Pembongkaran warung atau kios itupun begitu mengguncang perekonomian Enur (60), seorang ibu rumah tangga asal Kampung Cikawari, Desa Wangunharja, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Ia mengaku sudah 15 tahun menggantungkan hidupnya dengan berjualan kopi, mie instan, nasi, bensin eceran, hingga tambal ban. Namun, seluruh kios tersebut kini sudah rata dengan tanah.
"Kami sudah 15 tahun berjualan di sini. Sekarang sudah dibongkar, kami bingung harus pindah ke mana," kata dia.
Enur mengaku telah didata oleh pihak berwenang dan dijanjikan akan direlokasi bersama pedagang lainnya. Enur berharap pemerintah segera memberikan kejelasan soal relokasi agar mereka bisa kembali menjalankan usaha dan memiliki tempat tinggal yang layak. "Kami tidak menolak ditertibkan, tapi tolong bantu kami juga untuk bisa melanjutkan hidup," katanya.