
Indonesia. Negeri matahari yang tak pernah lelah bersinar sepanjang tahun. Tapi ironisnya, kurang dari 1% potensi tenaga surya kita benar-benar dimanfaatkan.
Angin bertiup deras dari pesisir selatan Jawa hingga pegunungan Nusa Tenggara, tapi kontribusinya dalam bauran energi nasional? Hanya 0,2%. Jauh tertinggal dari rata-rata dunia yang sudah melampaui 10%.
Di banyak pelosok desa, listrik masih menjadi kemewahan. Malam hanya diterangi beberapa jam cahaya, sisanya gelap—bukan karena bangsa ini tak punya mimpi, tapi karena teknologi penyimpanan energi masih terlalu mahal, terlalu rumit, dan terlalu bergantung pada rantai pasok dunia yang mudah goyah.
Dan kita terus mengejar hal yang sama. Nikel lagi, nikel lagi. Seolah masa depan hanya bisa dibangun dari satu logam, satu arah, satu narasi.
Kini bayangkan skenario lain. Baterai yang dibuat dari bahan sederhana seperti garam, diproduksi secara lokal, murah, aman, dan cukup kuat untuk menyimpan tenaga matahari seharian penuh. Teknologi ini bukan khayalan. Ia sudah ada, dan namanya adalah baterai sodium-ion.
Baterai Sodium: Peluang Kedua yang Tak Boleh Disia-siakan

Indonesia terlihat sedang berpacu membangun ekosistem kendaraan listrik nasional. Fokusnya besar: lithium dan nikel. Dua logam yang katanya "emas baru." Kita bangga sebagai pemilik salah satu cadangan nikel terbesar dunia, dan kini sibuk membangun industri baterai dari hulu ke hilir.
Tapi di balik gemerlap itu, ada yang terlupa: tidak semua masa depan harus tergantung pada logam mahal dan langka. APalagi jika harus merusak alam secara ugal-ugalan.
Ada tren baru di dunia baterai, yaitu baterai sodium. Baterai ini menggunakan natrium, unsur yang bisa diambil dari air laut atau garam dapur. Riset terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Resources, Conservation & Recycling oleh Shan Zhang dan koleganya dari Swedia dan Belanda menunjukkan bahwa dengan performa optimal dan didukung listrik bersih, baterai sodium bisa menurunkan emisi karbon hingga 57% dibandingkan kondisi saat ini. Bahkan, emisinya bisa lebih rendah dari baterai lithium.
Secara performa memang masih belum setara, namun penelitian terbaru yang diterbitkan di Nature Reviews Materials menynjukkan bahwa baterai Sodium-Ion (SIB) memiliki potensi untuk mengurangi ketergantungan pada lithium dan kobalt, yang pasokannya terbatas dan harganya fluktuatif. Selain itu, SIB menunjukkan kinerja yang kompetitif dengan baterai lithium-ion dalam hal efisiensi dan daya tahan.
Di atas kertas, baterai jenis ini tentu lebih murah, lebih aman, dan tak butuh bahan langka seperti kobalt atau lithium.
Ketika Fokus Berlebihan Bisa Jadi Bumerang
Tak bisa dimungkiri, kebijakan kita hari ini terlalu berat sebelah: semua diarahkan ke nikel dan lithium. Padahal, ketergantungan pada satu jenis teknologi menyimpan risiko besar. Khususnya terkait pertambangan ini, misalnya kerusakan lingkungan. Tambang nikel di Indonesia meninggalkan jejak yang nyata. Hutan hilang, sungai tercemar, masyarakat adat kehilangan ruang hidup. Kemudian, harga lithium melonjak liar.
Ketika dunia menoleh ke alternatif lain, kita bisa kehilangan arah. Dan terakhir, keadilan yang terancam. Terlalu fokus pada baterai mahal untuk mobil listrik membuat kebutuhan dasar seperti listrik desa dan penyimpanan PLTS rumah tangga tetap tak terlayani.
Oleh sebab itu, baterai sodium menawarkan jalan lain. Bukan untuk menggantikan, tapi untuk melengkapi. Untuk menyuplai kebutuhan energi rakyat biasa, yang tak butuh Tesla tapi butuh lampu yang tetap menyala saat malam tiba.
Mengapa Indonesia Harus Jadi Pemain, Bukan Penonton
Indonesia adalah negeri laut. Bahkan, orang bilang, "nenek moyangku seorang pelaut!". Kita dikelilingi air asin. Kita punya limbah industri kimia yang bisa dimurnikan jadi natrium. Kita punya kampus, laboratorium, dan anak muda yang siap membangun teknologi masa depan.
Tapi kita belum punya pabrik baterai sodium. Bahkan risetnya pun masih minim. Sementara negara lain sudah berlari, kita masih sibuk pada logam yang harganya ditentukan pasar global. Di Cina ada CATL yang telah merilis generasi pertama baterai sodium-ion pada tahun 2021. Di India ada Faradion yang telah mengembangkan Baterai SIB dengan performa setara LFP (lithium iron phosphate) tetapi lebih aman dan murah. Tanpa kobalt atau lithium sama sekali. DI Swedia adan Altris AB yang menjalin kerja sama dengan Northvolt dan beberapa mitra Eropa untuk mengembangkan baterai sodium-ion tanpa material kritis. Juga tentu HiNa Battery Technology, spin-off dari Chinese Academy of Sciences yang telah mencapai produksi massal SIB, termasuk pengembangannya untuk bus listrik secara global.
Inilah waktunya Indonesia berpikir ulang. Bukan berarti meninggalkan nikel dan lithium, tapi mulai mendiversifikasi.Maka dari itu, Indonesia melalui para pemangku jabatannya kini perlu mendorong riset nasional tentang baterai sodium. Dengan memberi ruang bagi startup dan industri kecil untuk bereksperimen dengan teknologi penyimpanan baru, serta mengembangkan aplikasinya secara lokal untuk motor listrik, PLTS desa, maupun penyimpanan energi sekunder di sekolah-sekolah pelosok.
Dan yang terpenting: memanusiakan teknologi. Energi bukan hanya soal angka dan pabrik. Ia soal hidup orang banyak. Soal ibu-ibu yang bisa menyetrika tanpa khawatir pemadaman, anak-anak yang bisa belajar tanpa lilin, nelayan yang bisa mendinginkan ikan hasil tangkapan.
Energi untuk Semua, Bukan untuk Segelintir
Saat ini, kita punya kesempatan langka: ikut merancang masa depan energi dunia dengan pendekatan yang lebih adil, murah, dan ramah lingkungan. Baterai sodium adalah peluang kedua kita. Dan seperti semua peluang baik, ia datang diam-diam, tanpa sorotan, tapi menjanjikan dampak besar. Maka, yang kita butuhkan hanya satu hal: keberanian untuk melihat ke arah lain.