
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kalau ada piala dunia untuk “cara paling efektif membungkam kebebasan pers,” Israel sudah pasti juara bertahan. Menurut catatan _Committee to Protect Journalists_ (CPJ), sejak perang di Gaza pecah pada 7 Oktober 2023, sedikitnya 184 jurnalis Palestina terbunuh.
Itu angka resmi, yang bahkan bisa lebih tinggi jika kita percaya serikat jurnalis lokal. Untuk perbandingan, selama lebih dari 30 tahun sejarah CPJ, tak ada konflik di dunia yang membunuh jurnalis sebanyak ini.
Perang Irak? Berdarah. Perang Suriah? Brutal. Perang Ukraina? Mematikan. Tapi Perang Gaza —ia bukan sekadar konflik; ia sudah menjadi kuburan massal jurnalis.
Dan daftar itu terus bertambah. Pada Senin, 25 Agustus 2025, serangan udara Israel menghantam Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, menewaskan sedikitnya 15 orang, termasuk empat jurnalis yang tengah meliput di lokasi.
Serangan pertama menghantam area sekitar rumah sakit, menewaskan Hossam al-Masri, kameramen Reuters yang sedang mengoperasikan siaran langsung.
Pada detik itu pula, siaran video Reuters terputus di tengah layar dunia. Tak lama kemudian, ketika tim penyelamat, jurnalis, dan warga sipil bergegas ke lokasi ledakan, serangan kedua datang. Tiga jurnalis lain tewas seketika.
Mereka adalah Mohammed Salama, jurnalis foto untuk Al Jazeera, Mariam Abu Daqa, kontributor untuk The Independent Arabic dan Associated Press, dan Moaz Abu Taha, jurnalis lepas yang bekerja untuk jaringan NBC.
Empat nama baru, empat nyawa lagi yang diputus, empat suara yang seharusnya menjadi saksi, kini hanya tinggal arsip.
Ironinya, dunia internasional tetap saja mengeluarkan apa yang disebut aktivis Palestina sebagai verbal condemnation. Kutukan manis yang terdengar gagah di podium PBB tapi tak lebih berguna dari status panjang di Facebook.
Para pejabat tinggi, diplomat, hingga presiden negara besar tampil serius di depan kamera, mengerutkan dahi, mengucapkan “kami prihatin, kami mengecam.” Lalu selesai. Besoknya, rudal kembali meluncur, jurnalis kembali mati, dan pernyataan baru dicetak ulang dengan sedikit variasi kata sifat.
Saking seringnya, “verbal condemnation” kini sudah jadi semacam genre humor internasional. Bayangkan: setiap kali kantor berita di Gaza dibom, sebuah mesin global otomatis mengeluarkan kalimat template— “We strongly condemn this attack and call for restraint.” Sudah seperti notifikasi WhatsApp dari grup keluarga: muncul, dibaca, diabaikan.
Baca juga: Catatan Cak AT: Rukun Digital Umrah-Haji
Lalu muncul pertanyaan yang lebih pahit: kalau dunia hanya bisa mengutuk, siapa yang akan melindungi para jurnalis di Gaza? Mereka yang berlari sambil memegang kamera, menulis berita dengan lampu seadanya, menyiarkan kebenaran meski tahu nyawanya bisa diputus kapan saja.
Jawabannya datang dalam bentuk ide-ide. Ada yang serius, ada yang gila, ada yang satir, ada pula yang terdengar seperti sketsa komedi politik. Tapi seperti kata pepatah lama: ketika kenyataan sudah absurd, maka hanya ide-ide absurd yang bisa terdengar masuk akal.
Maka mari kita berkenalan dengan parade gagasan ini —sebuah katalog tragis, yang lahir dari para jurnalis, aktivis, pengacara, dan sejarawan yang bosan dengan kutukan tanpa gigi. Wawancara dilakukan oleh tim Columbia Journalism Review serta Simon and June Li Center for Global Journalism.
Baca juga: Menyelamatkan Nyawa Anak Usia 7 Tahun dari Arab Saudi Lewat Transplantasi Jantung Lintas Negara
Dari Ruang Redaksi yang Runtuh: Youmna ElSayed
Kita mulai dengan Youmna ElSayed, koresponden Al Jazeera asal Gaza yang kini terpaksa pindah ke Kairo. Ia kehilangan rekan kerja, melihat kantornya hancur, dan tetap harus menyalakan kamera setiap hari.
ElSayed berkata, laporan-laporan formal tidak ada artinya. Komite, organisasi, resolusi —semuanya terasa seperti tumpukan kertas yang hanya berguna untuk mengipasi muka di musim panas.
Bagi ElSayed, yang dibutuhkan sekarang bukan “investigasi internasional” atau “laporan resmi,” melainkan tindakan konkret untuk melindungi jurnalis Gaza.
Sebab, kata dia, mereka sudah terlalu lama dibiarkan menjadi sasaran empuk. Tapi dunia memang punya bakat khusus: makin banyak laporan, makin sedikit tindakan.
Baca juga: Mooncake Festival 2025, The Westin Surabaya Hadirkan Mooncake Premium
Mogok Buruh Berita: Sharif Abdel Kouddous
Sharif Abdel Kouddous, jurnalis senior asal Mesir yang kini menulis untuk Drop Site News, punya ide sederhana tapi radikal: mogok kerja global.
Bayangkan jika New York Times, The Guardian, Le Monde, dan ratusan media lain sepakat tak terbit selama satu hari. Tidak ada berita saham, tidak ada resep masakan, tidak ada gosip selebriti. Hanya satu pesan di layar kosong: “Kami mogok, karena jurnalis kami dibunuh di Gaza.”
Mogok kerja pernah jadi senjata buruh pabrik, sopir bus, sampai petani tebu. Kenapa jurnalis tidak boleh mencobanya? Mereka juga buruh, hanya saja buruh berita.
Tapi masalahnya: apakah industri media global mau menahan nafsu klik, iklan, dan trafik? Di situlah satirnya. Jurnalis Gaza bisa mati tiap hari, tapi jurnalis global masih harus mengejar deadline untuk artikel “10 Tips Agar Tidur Nyenyak.”
Baca juga: Kehadiran Profesor Pendukung Zionis Israel, UI Klarifikasi dan Minta Maaf
Disclaimer di Awal Berita: Arwa Damon
Arwa Damon, mantan reporter CNN yang kini aktif di bidang kemanusiaan, punya ide yang lebih teatrikal. Menurutnya, setiap berita tentang Gaza seharusnya dibuka dengan disclaimer jujur:
> “Israel melarang jurnalis masuk Gaza. Oh ya, sudah lebih dari 200 jurnalis terbunuh.”
Bayangkan menonton berita CNN dengan gaya iklan rokok: “Peringatan: berita ini mungkin bias karena satu pihak telah membunuh hampir semua saksi independen.”
Kedengarannya lucu, tapi justru itulah kejujuran. Media selama ini sering menyajikan kutipan dari juru bicara militer Israel tanpa konteks. Seolah-olah fakta bisa datang dari mulut yang sudah terbukti berkali-kali menargetkan jurnalis.
Baca juga: Pagelaran Malam Dzikir Puisi Makara Art Center UI Dihadiri Menteri Kebudayaan
Damon ingin publik melihat absurditas ini secara gamblang, meski dengan cara komikal.
Sanksi untuk Darah, Bukan Hanya untuk Minyak: Fadi Quran
Fadi Quran, aktivis Palestina yang bekerja di organisasi kampanye global Avaaz, mengingatkan: dunia pernah bisa bertindak tegas.
Ketika jurnalis Jamal Khashoggi dibunuh oleh agen Saudi di Istanbul, ada sanksi. Ketika Belarus memaksa pesawat sipil mendarat untuk menangkap jurnalis, ada sanksi. Ketika Rusia menyerang Ukraina, sanksi datang berderet seperti undangan pesta.
Tapi Gaza? Hampir nihil. Quran dengan getir bertanya: apakah darah jurnalis Palestina tidak semahal darah jurnalis lain? Atau barangkali, seperti minyak, nilai darah juga tergantung geopolitik.
Poster Wajah di Halaman Depan: Omar Shakir
Omar Shakir, direktur Human Rights Watch untuk Israel-Palestina, punya ide visual. Bayangkan halaman depan The New York Times atau The Guardian yang biasanya penuh berita, tiba-tiba hanya berisi ratusan wajah jurnalis Gaza yang terbunuh.
Bukan sebagai “ilustrasi tambahan,” melainkan sebagai headline penuh. Ma...