Pekerja menyelesaikan pembangunan rumah subsidi (ilustrasi). Masyarakat kini semakin sulit mengakses Kredit Pemilikan Rumah (KPR) akibat terjebak pinjol dan paylater.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- President Director PT Summarecon Agung Tbk, Adrianto P Adhi, mengungkapkan masyarakat kini semakin sulit mengakses Kredit Pemilikan Rumah (KPR) akibat terjebak pinjol dan paylater. la menyebut, banyak masyarakat dari kalangan menengah ke bawah gagal lolos BI checking saat mengajukan KPR karena memiliki riwayat pinjaman konsumtif yang belum dilunasi.
"Banyak yang KPR-nya ditolak bukan karena tidak mampu mencicil rumah, tapi karena masih punya tunggakan di pinjol atau paylater. Ada yang cicilan TV-nya belum lunas, kulkasnya masih nyicil," kata Adrianto di Indonesia Summit 2025 Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Adrianto menilai pola konsumsi masyarakat yang cenderung konsumtif menjadi makin terdorong dengan kemudahan pinjaman online. Menurutnya, tidak sedikit masyarakat yang memilih mencicil barang-barang sekunder, sementara kebutuhan utama seperti rumah justru belum terpenuhi.
"Masyarakat kita itu memang konsumtif. Dengan adanya pinjol, mereka makin terdorong untuk beli barang-barang yang ternyata rumahnya, maaf, masih mengontrak," ujarnya.
Sejauh ini ia belum mengantongi data mengenai jumlah konsumen yang gagal KPR di Summarecon. Meski begitu, menurutnya, sinyalemen tersebut mulai terlihat di lapangan saat pengajuan KPR ditolak karena riwayat pinjaman konsumtif.
Summarecon sendiri, kata dia, sejak awal telah menerapkan seleksi ketat terhadap calon pembeli untuk meminimalisasi risiko kegagalan pembayaran di kemudian hari. "Di Summarecon, sejak awal kami sudah sangat selektif. Bahkan sebelum ada BI checking, kami tidak setuju dengan program-program instant approval karena itu membuat proses seleksi longgar," kata dia.
Menurut dia, sistem persetujuan cepat bisa membuat pengembang terlena, padahal risiko keuangan tetap harus ditanggung jika terjadi default dari konsumen. "Kalau konsumen gagal bayar KPR, pengembang bisa terkena kewajiban buyback. Itu risiko besar yang harus kami kelola dengan ketat," tegas Adrianto. la pun mendorong agar pemerintah dan otoritas terkait segera menertibkan industri pinjaman online dan paylater agar tidak semakin mengganggu stabilitas finansial masyarakat dan sektor properti nasional.