
Bank Dunia turut menyoroti dampak dari ketidakpastian ekonomi dunia terhadap perekonomian Indonesia. Situasi ini juga disebut bisa meningkatkan beban utang Indonesia.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Habib Rab, mengatakan kemampuan pendapatan Indonesia untuk membayar bunga utang akan cukup berat di tengah ketidakpastian ekonomi global yang terus meningkat dalam enam bulan terakhir.
Menurut dia, meski rasio utang Indonesia terhadap PDB masih rendah, hal yang dialami Indonesia adalah potensi tingginya rasio bunga utang terhadap pendapatan negara.
“Dalam berbagai skenario, guncangan nilai tukar, perlambatan PDB, dan lonjakan belanja, rasio bunga terhadap pendapatan meningkat cukup cepat,” kata Habib dalam Peluncuran Indonesia Economic Prospects edisi Juni 2025 dari Bank Dunia di Energy Building, Jakarta Selatan pada Senin (23/6).
“Padahal, total utang pemerintah Indonesia masih tergolong rendah, yaitu sekitar 40 persen dari PDB, dibandingkan rata-rata negara berpenghasilan menengah sebesar 55 persen. Namun, rasio bunga terhadap pendapatan tetap tinggi, yaitu sekitar 20 persen,” lanjutnya.
Di situasi seperti ini, Habib memproyeksi berbagai bentuk bunga akan meningkat. Hal inilah yang juga dapat berpengaruh pada meningkatnya beban utang Indonesia.

“Selama masa ketidakpastian, imbal hasil obligasi meningkat. Spread obligasi juga cenderung naik, terutama ketika suku bunga global tetap tinggi. Ini meningkatkan biaya pinjaman dan mendorong kenaikan rasio bunga terhadap pendapatan,” ujar Habib.
Untuk situasi saat ini. Habib juga menjelaskan ketidakpastian ekonomi global sangatlah tinggi bahkan melewati kondisi saat pandemi beberapa tahun lalu.
“Yang menarik adalah, bahkan jika dibandingkan dengan guncangan besar seperti pandemi COVID-19 dan segala konsekuensinya, tingkat ketidakpastian saat ini jauh lebih tinggi. Mengapa ini penting? Karena ketidakpastian, berbeda dengan risiko, sangat sulit untuk diukur,” kata Habib.
Selain risiko beban utang, Habib juga menyoroti tidak stabilnya rupiah meski net outflow yang keluar sangat minim di 0,3 persen dari PDB. Menurutnya hal ini terjadi karena pasar keuangan Indonesia masih dangkal.
“Bahkan dengan arus keluar yang relatif kecil, tekanan terhadap rupiah tetap tinggi. Ini karena pasar keuangan Indonesia masih dangkal, dengan sedikit aset yang tersedia dan keragaman investor yang terbatas,” ujarnya.