REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Komisi X DPR RI, saat ini tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief Muhammad mengatakan, regulasi baru ini akan mengintegrasikan tiga undang-undang penting di sektor pendidikan. Yakni, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, serta UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Habib Syarief menyoroti soal kedudukan lembaga Pesantren. Secara tegas, Habib menolak penggabungan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren ke dalam revisi UU Sisdiknas.
Pesantren, kata dia, memiliki kekhasan dan kemandirian, sehingga perlu diatur secara terpisah. Meski demikian, perlu ada jaminan kesetaraan lulusan, pendidik, dan satuan pendidikan pesantren dalam skema pendidikan nasional tanpa menyeragamkan sistemnya.
“Ketimpangan alokasi anggaran pendidikan keagamaan juga penting. Meski mencakup lebih dari 23 persen peserta didik nasional, pendidikan keagamaan hanya mendapat 11–12 persen dari total anggaran pendidikan,” ujar Habib Syarif saat ditemui di Rakorwil LP Maarif NU Jawa Barat, Kota Bandung, Sabtu (9/8/2025)
Menurutnya, berdasarkan pembahasan sementara, terdapat 12 masalah utama pendidikan di Indonesia. Yakni, meliputi ketimpangan tata kelola, pendanaan dan mandatory spending, ketimpangan pengakuan pendidikan keagamaan dan nonformal, relevansi kurikulum, evaluasi standar nasional, masalah tenaga pendidik, perluasan wajib belajar, penguatan PAUD, inklusivitas kelompok rentan, pengawasan pendidikan, akuntabilitas pendidikan tinggi mencakup pendidikan kedinasan, serta penyesuaian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari 12 masalah pendidikan itu, Habib Syarief pun menyoroti empat isu utama pendidikan di Jawa Barat yang dinilai relevan dan mendesak. Pertama, pendanaan dan mandatory spending pendidikan. Dikatakan Habib, amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan alokasi minimal 20 persen APBN dan APBD untuk pendidikan, masih sering disimpangi.
Berdasarkan data, kata Habib, alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2025 mencapai Rp724,3 triliun, setara dengan 20 persen dari total anggaran belanja negara. Namun, kurang dari 22 persen anggaran tersebut yang dikelola langsung oleh Kemendikdasmen, Kemendikristek, dan Kementerian Agama. Bahkan, anggaran untuk Kemendikdasmen itu yang terkecil, kurang dari 5 persen.
“Sebagian besar anggaran lainnya tersebar di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk untuk pendidikan kedinasan dan program-program lain yang tidak langsung berkaitan dengan peningkatan kualitas pendidikan,” katanya.
Kedua, kata dia, terkait disharmoni kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam revisi UU Sisdiknas, DPR berencana menegaskan pembatasan tegas kewenangan kedua pihak agar tidak saling tumpang tindih dan menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Ketiga, kata dia, adanya dikotomi sekolah Negeri dan Swasta yang selama ini cenderung mengutamakan sekolah negeri. Padahal, Putusan MK No.58/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK No.3/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa negara wajib membiayai pendidikan dasar, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta.
“Dalam revisi UU Sisdiknas, ketentuan ini akan ditegaskan agar sekolah swasta yang memenuhi standar juga berhak mendapat pembiayaan dari negara,” katanya.