Ampo bukanlah camilan biasa. Dikutip dari laman Instagram Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI, ampo adalah camilan yang dibuat dari tanah yang dihaluskan, kemudian diraut menggunakan sebilah bambu hingga berbentuk lipatan kecil mirip jajanan astor.
Setelah itu, ampo dikeringkan dan diasapi dalam tungku. Menariknya, kata ampo juga dipakai untuk menyebut bau menyengat yang muncul dari debu tanah halus di musim kemarau ketika tersiram hujan pertama.
Sejarah ampo diyakini berasal dari kebiasaan masyarakat Trowulan, Tuban, yang sudah sejak lama mengonsumsi tanah liat. Selain sebagai camilan, ampo juga hadir dalam berbagai kegiatan tradisi, seperti kenduren, kupatan sapi, sesaji, hingga ritual sebelum mengolah lahan sawah.
Keunikan inilah yang membuat Ampo ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2024.
Bahkan, Tim PKM-PSH Universitas Airlangga (UNAIR) yang terdiri dari Hendra Setiawan, Calvin Nathan Wijaya, dan Lia Agustina Subagyo, meneliti fenomena ini dengan judul “Fenomena Unik Geofagi pada Masyarakat di Dusun Trowulan, Desa Bektiharjo, Kabupaten Tuban”.
Menurut masyarakat setempat, ampo dipercaya bisa membuat perut terasa nyaman. Tak jarang, ibu hamil juga mencari ampo sebagai pemenuhan hasrat ngidam.
Lantas, apakah ampo aman dikonsumi?
Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM, Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc., menjelaskan bahwa ampo sebagian besar tersusun dari silika dan alumina. Zat tersebut tidak mudah larut di air dan tidak bisa diserap tubuh, sehingga ampo tidak memiliki nilai gizi.
“Sesuatu yang memberikan nilai manfaat di sini adalah sesuatu yang memang harus bisa dicerna. Dicerna berarti harus bisa larut,” kata Sri dikutip dari laman UGM, Jumat (22/8).
Menurut Sri, keamanan ampo sangat bergantung pada sumber tanahnya. Tanah yang berasal dari area pegunungan atau dekat gunung berapi umumnya masih relatif bersih. Namun, tanah yang diambil dari ladang atau pemukiman berpotensi terkontaminasi pestisida maupun logam berat, seperti timbal.
“Kalau itu di daerah-daerah yang sudah terpapar dengan banyak cemaran tadi, maka upaya untuk memanfaatkannya perlu betul-betul memperhatikan hal cemaran itu tadi,” jelas.
Selain itu, sifat ampo yang keras bisa menimbulkan gesekan pada saluran pencernaan. Jika dikonsumsi berlebihan, ada risiko iritasi, terutama pada lansia atau orang dengan kondisi kesehatan tertentu.
"Karena adanya gesekan oleh partikel pada benda padat yang tidak larut tersebut pada usus manusia. Terlebih, pada lansia dan orang-orang yang memiliki kondisi rentan," imbuhnya.
Meski memiliki risiko, Sri menekankan bahwa ampo tetap penting sebagai bagian dari warisan budaya. Ia berpesan agar masyarakat bijak dalam mengonsumsinya, memperhatikan siapa yang makan, berapa jumlahnya, dan kapan waktu yang tepat.
Menurutnya, ampo sebaiknya hadir hanya pada momen tertentu, sesuai dengan fungsi budaya yang melekat. Selain itu, faktor usia sangat mempengaruhi karena balita dan manula sangat berisiko.
"Kalau ada kondisi, sedikit saja dalam pencernaannya pasti akan ada respons, maka dikonsumsinya oleh orang-orang dewasa yang memiliki imun yang tinggi dan dengan jumlah yang terbatas," pesannya.