REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Sarwidi (Guru Besar Teknik Sipil Bidang Rekayasa Kegempaan, dan Kebencanaan Universitas Islam Indonesia (UII) dan Pengarah BNPB RI)
Delapan dekade kemerdekaan Indonesia bukan sekadar perayaan usia, melainkan momentum reflektif: apakah kita telah membangun peradaban yang benar-benar tangguh menghadapi bencana? Negeri ini telah berkali-kali diuji oleh gempa, tsunami, banjir, erupsi, hingga pandemi. Namun, respons kita masih sering bersifat reaktif, bukan transformatif.
Saatnya kita melangkah lebih jauh: membangun peradaban tangguh bencana—sebuah paradigma yang menyatukan ilmu, etika, spiritualitas, dan kebijakan dalam satu visi kebangsaan.
Dari Infrastruktur ke Kultur Ketangguhan
Ketangguhan bukan hanya soal bangunan tahan gempa atau sistem peringatan dini. Ia adalah soal cara berpikir, cara hidup, dan cara kita memaknai risiko sebagai bagian dari takdir dan ikhtiar. Peradaban tangguh bencana adalah peradaban yang pertama, menjadikan risiko sebagai elemen desain sosial dan teknologi. Kedua, mengintegrasikan ilmu kebencanaan dalam pendidikan, budaya, dan tata kelola. Ketiga, menumbuhkan solidaritas dan kesiapsiagaan sebagai nilai hidup, bukan sekadar respons darurat.
Tiga Pilar Ketangguhan Peradaban
Etika dan Spiritualitas
Bencana bukan hanya fenomena alam, tapi juga momen tafakur. Dalam perspektif Qur’ani, sabar, ikhtiar, dan tawakal adalah fondasi spiritual dalam menghadapi musibah. Pendidikan kebencanaan harus menyentuh hati, bukan sekadar logika. Kita perlu membangun generasi yang tangguh secara teknis dan ruhani.
Kebijakan dan Kelembagaan
Ketangguhan harus menjadi arus utama dalam kebijakan publik. RAPBN, tata ruang, dan kurikulum pendidikan harus mencerminkan visi peradaban tangguh. Pemerintah, DPR, kampus, dan masyarakat sipil perlu bersinergi dalam gerakan nasional ketangguhan.
Ilmu dan Teknologi
Indonesia memiliki modal akademik dan teknologis yang besar. Kampus-kampus seperti UII telah mengembangkan alat simulasi gempa seperti Shaking Table SIMUTAGA, Bangunan Rumah Rakyat Tahan Gempa (BARRATAGA), dan menyelenggarakan lomba rancang bangunan bertingkat dalam Summer Program internasional. Namun, inovasi ini harus diperluas dan diadopsi lintas sektor.
HUT ke-80: Dari Seremoni ke Legacy
Peringatan 80 tahun kemerdekaan bukan hanya seremoni, tapi titik balik. Visi “Indonesia Maju” harus mencakup ketangguhan terhadap bencana sebagai bagian dari kemajuan. Kita perlu melahirkan Gerakan Peradaban Tangguh Bencana sebagai warisan kolektif bangsa.
Indonesia adalah negeri yang diberkahi: “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.” Tapi berkah itu harus dijaga dengan ilmu, nilai, dan kebijakan yang berpihak pada keselamatan dan keberlanjutan.
Mari kita jadikan kemerdekaan sebagai panggilan untuk membangun peradaban yang bukan hanya maju, tapi juga tangguh, beretika, dan bermakna.