Wakil Menteri Hukum, Eddy Hiariej menyebut ada tiga permasalahan dalam pemungutan royalti di Indonesia. Hal ini ia sampaikan dalam rapat konsolidasi bersama di Komisi XIII DPR RI, Kamis (21/8).
Menurutnya, masalah pertama adalah soal struktur dan regulasi.
“Permasalahannya adalah keterbatasan regulasi terkait platform digital lintas negara,” ucap Eddy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.
“Ini solusinya adalah inisiasi yang sedang ditempuh oleh pemerintah terkait protokol mengenai pengelolaan royalti musik pada platform digital secara global,” tambahnya.
Lalu, menurut Eddy, besaran royalti untuk UMKM juga masih menjadi tanda tanya.
“Ini mendorong LMKN untuk menyusun pedoman tentang besar tarif royalti untuk UMKM sebagai implementasi ketentuan dalam Pasal 11 PP 56 Tahun 2021. Terdapat keringanan tarif royalti untuk UMKM,” ucap Eddy.
Senada dengan pemungutan royalti untuk UMKM, menurutnya, salah satu masalah dalam pemungutan royalti di Indonesia adalah tidak adanya regulasi pemungutan royalti yang tidak terencana atau unplanned.
“Kemudian belum diatur mekanisme pendistribusian royalti unplanned terhadap pencipta yang tidak tergabung dalam LMK dan tidak diketahui penciptanya,” ucap Eddy.
“Ini mendorong LMKN untuk menyusun pedoman tentang pendistribusian royalti unplanned sebagaimana implementasi dari ketentuan Pasal 13 PP 56 Tahun 2021,” tambahnya.
Permasalahan yang kedua, menurut Eddy, adalah kurangnya transparansi dalam penarikan royalti.
“Teknis dan operasional yaitu transparansi dan akurasi distribusi royalti. Ini solusinya adalah mendorong LMKN untuk membangun dan mengembangkan sistem informasi lagu dan atau musik,” ucap Eddy.
“Kemudian yang kedua adalah minimnya pemanfaatan data dan sistem monitoring otomatis. Ini solusinya adalah digitalisasi penuh sistem pencatatan, pelaporan dan distribusi royalti,” tambahnya.
Terakhir, menurut Eddy, adalah masalah ekonomi dan sosial. Menurut Eddy, edukasi terkait royalti belum merata.
“Rendahnya kesadaran dan kepatuhan masyarakat dan pelaku usaha tentang royalti. Dan yang kedua adalah nilai royalti belum optimal dibandingkan dengan potensi ekonomi hak ciptanya,” ucap Eddy.