
Thomas Trikasih Lembong atau dikenal Tom Lembong dengan tegas membantah tudingan-tudingan jaksa terhadapnya terkait dengan kasus dugaan korupsi importasi gula. Jaksa, kata dia, bahkan tidak menuduhnya menerima apa-apa dalam kasus tersebut.
Pada umumnya, Tom dituntut oleh jaksa 7 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan. Hal itu, menurut Tom, setidaknya atas dua tuduhan, yakni:
Ikut serta untuk menguntungkan atau memperkaya Industri Gula Swasta Nasional melalui beberapa perusahaan; dan
Menjalankan sebuah kebijakan yaitu impor gula mentah untuk diolah menjadi gula putih, yang kemudian digunakan untuk meredam gejolak harga gula, di mana kemudian Kejaksaan menyatakan kebijakan itu telah mengakibatkan kerugian negara Rp 578 miliar.
Namun terkait dua tudingan tersebut, Tom menyebut jaksa juga tidak menyatakan bahwa dirinya menerima sepeser pun dari uang kerugian negara itu.
"Perlu saya tegaskan kembali pada saat ini yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung dalam pernyataannya kepada publik: tidak ada aliran dana kepada saya. Kejaksaan Agung pun dari awal tidak pernah menuduh saya menerima apa-apa," kata Tom saat membacakan nota pembelaannya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (9/7).
Tom menyebut dalam tuntutan pada akhirnya Kejagung tidak menuduh dirinya menerima apa pun dalam bentuk apa pun. Baik sebelum ia menjabat, saat menjabat, bahkan setelah menjabat sebagai Menteri Perdagangan RI.
Di sisi lain, Kejagung juga telah meminta para industri gula swasta nasional, dalam hal ini perusahaan-perusahaan yang diduga menerima keuntungan dalam proses importasi gula, menyerahkan jaminan uang Rp 565 miliar. Uang itu merupakan jaminan yang dapat disita, jika persidangan membuktikan adanya kerugian negara.
Kondisi itu berbeda dengan apa yang terjadi terhadap Tom. Ia mengaku tidak diminta untuk setor jaminan tunai dalam kasus yang disebut merugikan negara ratusan miliar itu. Kerugian sepenuhnya dituduhkan kepada industri gula swasta nasional.
"Kerugian negara yang dituduh penyidik dan penuntut tidak dituduhkan kepada saya, tapi dituduhkan kepada industri gula swasta nasional," kata Tom.
"(Hal itu) akibat membuat PT PPI membayar harga terlalu mahal atas Gula Putih yang mereka (industri gula) jual kepada PT PPI, dan membayar bea masuk dan pendapatan negara dalam rangka impor lainnya lebih rendah daripada seharusnya," lanjut Tom.

Selain itu, kata Tom, perkara inti dari importasi gula ini dinilainya merupakan tindakan Kejagung yang mensalahartikan peraturan terkait. Terutama mengenai Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527 dari tahun 2004, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117 dari tahun 2015.
Dia mencontohkan, Kepmen nomor 527 tahun 2004 yang melarang impor gula putih dari satu bulan sebelum musim giling tebu sampai dua bulan setelahnya, sejatinya tidak melarang impor gula jenis lainnya, seperti gula mentah. Dalam kasus ini, impor dilakukan untuk gula mentah.
Kemudian, lebih detail lagi, dia menyatakan pada pasal 7 ayat (2) di keputusan yang sama, disebutkan bahwa gula kristal putih hanya dapat diimpor di luar masa 1 bulan sebelum musim giling tebu sampai 2 bulan setelah musim giling tebu rakyat.
"Namun Kejaksaan Agung RI dalam dakwaannya maupun tuntutannya secara gamblang tetap mempidanakan kebijakan saya untuk impor Gula Mentah dalam kurun waktu terkait musim giling tebu tersebut," kata dia.
Hal yang sama juga dilakukan terkait Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117 tahun 2015. Pasal 4 disebutkan melarang impor gula putih, kecuali dalam rangka stabilisasi harga dan pembentukan stok gula nasional. Bukan melarang impor jenis gula lainnya untuk tujuan apa pun.
"Dari bagian mana pasal ini, Kejaksaan Agung RI dapat menarik kesimpulan bahwa pasal ini melarang importasi jenis gula lainnya, termasuk dalam rangka mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga Gula Kristal Putih?" tanya Tom.

Dalam kasus Tom, jaksa menuntut ia telah melakukan perbuatan turut merugikan keuangan negara hingga Rp 578 miliar terkait importasi gula. Tom disebut menerbitkan persetujuan impor gula kristal mentah tanpa didasarkan rapat koordinasi dan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Persetujuan impor itu diberikan kepada sepuluh perusahaan gula swasta, yakni PT Angels Products, PT Makassar Tene, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Medan Sugar Industry, PT Permata Dunia Sukses Utama, PT Andalan Furnindo, PT Duta Sugar International, PT Berkah Manis Makmur, PT Kebun Tebu Mas, dan PT Dharmapala Usaha Sukses.
Jaksa menyebut total ada 21 surat persetujuan impor GKM yang dikeluarkan oleh Tom Lembong kepada perusahaan-perusahaan itu.
Izin yang disebut diberikan oleh Tom itu disebut menyebabkan kemahalan harga yang dibayarkan PT PPI (BUMN) dalam pengadaan Gula Kristal Putih untuk penugasan stabilisasi harga/operasi pasar. Selain itu, menyebabkan kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor.
Kedua hal tersebut telah merugikan negara senilai Rp 515 miliar. Angka ini menjadi bagian kerugian negara yang berdasarkan audit nilainya mencapai Rp 578,1 miliar.
Selain itu, Tom juga disebut memberikan izin kepada PT Angels Products untuk mengimpor GKM dan mengolahnya menjadi GKP. Padahal, saat itu stok GKP dalam negeri mencukupi.
Kemudian, Tom Lembong juga disebut tidak mengendalikan distribusi gula tersebut. Di mana, distribusi gula itu seharusnya dilakukan melalui operasi pasar. Jaksa menyebut kerugian negara dalam kasus ini adalah sebesar Rp 578.105.411.622,47 atau Rp 578,1 miliar. Merujuk pada perhitungan dari BPKP.
Terkait disebut memperkaya perusahaan itu, Tom membantah. Menurutnya, bahkan ada 1 perusahaan yang merugi hingga Rp 80 miliar atas kerja sama dengan PT PPI.
"Sementara keuntungan yang diperoleh industri gula swasta merupakan keuntungan korporasi, bukan keuntungan pribadi ke-9 individu perorangan yang dicantumkan dalam dakwaan saya?" pungkas Tom.