
Menteri Perdagangan (Mendag) RI periode 2015–2016, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, menyebut bahwa penanganan kasusnya oleh Kejagung seperti 'menggeser gawang'.
Hal itu disampaikan Tom saat membaca nota pembelaan atau pleidoi dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi importasi gula, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (9/7).
Dalam pleidoinya itu, Tom menjelaskan selama proses penanganan kasusnya, dirinya merasa Kejagung seolah mengembalikan pengertian terhadap peraturan perundang-undangan hingga membangun konstruksi tuduhan kepadanya agar tetap dinyatakan bersalah.
Kondisi itulah yang disebut Tom bahwa Kejagung 'menggeser gawang' demi tetap menjeratnya sebagai tersangka, hingga kini berada di kursi pesakitan.
"Dalam proses hukum yang dijalankan Kejaksaan Agung terhadap saya, Kejaksaan Agung terang-terangan dengan seenaknya 'menggeser gawang'," kata Tom dalam persidangan, Rabu (9/7).

Tom kemudian membeberkan istilah 'menggeser gawang' yang dimaksud dilakukan Kejagung terhadapnya.
Ia menjelaskan bahwa dalam konferensi pers saat dia dijerat sebagai tersangka dan ditahan pada Oktober 2024 lalu, Kejagung menilai bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukannya yakni dengan merumuskan sejumlah kebijakan yang merugikan negara.
Dalam konferensi pers itu, kata dia, Kejagung menuduh bahwa kebijakan yang diambilnya dalam memberikan izin impor kepada industri gula swasta nasional hingga mengakibatkan BUMN kehilangan peluang dalam mendapat keuntungan justru dinilai sebagai kerugian negara.
"Saat itu pun, banyak warga kita sudah bingung dengan tuduhan tersebut," tutur Tom.
Tom menyebut, kebingungan masyarakat pun ditunjukkan lewat komentar di media sosial dengan analogi terkait preferensi yang dipilih dalam menggunakan hasil produk industri swasta alih-alih perusahaan BUMN.
Dalam konferensi pers itu juga, lanjut Tom, Kejagung menyebutnya dan industri gula swasta justru merugikan konsumen dengan menjual gula yang diimpor dan diolah menjadi gula konsumsi, dengan harga yang lebih tinggi daripada ketentuan harga jual maksimum.

Namun, saat kasusnya mulai bergulir di persidangan, tuduhan yang disampaikan pada saat konferensi pers sebelumnya justru diganti dengan tuduhan baru.
"Tapi, 4 bulan kemudian, dalam dakwaan yang diterbitkan oleh Jaksa Penuntut terhadap saya, Kejaksaan menggeser gawang dengan sepenuhnya mengganti kedua tuduhan dengan tuduhan baru," ucap Tom.
Dalam dakwaan, jaksa menilai bahwa kebijakan Tom yang memberikan izin impor gula kepada industri gula swasta membuat PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) membayar harga kemahalan dalam membeli gula putih dari pihak swasta tersebut.
Kedua, kebijakan importasi gula tersebut mengakibatkan kerugian negara karena impor gula mentah sebagai bahan baku dikenakan tarif bea masuk yang lebih rendah daripada impor barang jadi.
"Dakwaan terhadap saya tidak lagi mencantumkan keuntungan usaha yang diperoleh industri swasta yang seharusnya menjadi keuntungan BUMN, tapi diganti argumentasi baru," papar Tom.
"Yaitu yang tadi bahwa industri swasta membuat PT PPI membayar harga kemahalan dan kemudian mencatut sebagian bea masuk dengan memilih impor barang yang dikenakan tarif lebih rendah, yaitu bahan baku," lanjutnya.

Tak hanya itu, Tom juga menyinggung perhitungan kerugian negara dalam kasusnya yang berubah menjadi Rp 578,1 miliar. Padahal, pada saat penetapan tersangka, Kejagung menyebut kerugian negara mencapai Rp 400 miliar.
"Bukan karena adanya bukti baru yang menunjukkan bahwa kerugian yang dituduhkan ternyata lebih besar setelah penyidikan lebih lanjut. Tapi, karena Jaksa dan/atau BPKP mengubah dasar perhitungan kerugian negaranya, alias menggeser gawang antara tanggal saya dinyatakan tersangka dan ditahan, dan tanggal yang terjadi 4 bulan kemudian yaitu terbitnya dakwaan saya," imbuh dia.
Lebih lanjut, Tom juga menyesali bahwa pihaknya tidak dapat mengetahui dan melihat dasar dari Kejagung dan BPKP dalam mengubah perhitungan kerugian negara kasus tersebut.
"Karena Kejaksaan tidak menyampaikan audit BPKP pada saat menjatuhkan dakwaan pada saya, sebuah pelanggaran yang serius atas hak saya sebagai terdakwa, bahwa saya dan penasihat hukum saya tidak dapat melihat apa yang menjadi dasar perhitungan kerugian negara yang dituduhkan," kata Tom.
Audit BPKP itu, lanjut dia, justru baru diserahkan dalam persidangan saat semua saksi fakta sudah selesai diperiksa.
Akibatnya, Tom merasa hal itu membuatnya tidak bisa menanyakan sejumlah kejanggalan yang muncul dalam audit BPKP tersebut.
"Belum lagi BPKP dan Kejaksaan Agung menolak untuk memperlihatkan kertas kerja para auditor BPKP yang mengaudit perkara saya, meskipun telah dibeberkan secara jelas, berbagai kejanggalan dan bahkan eror atau kesalahan matematis yang terang benderang terlihat dalam audit BPKP tersebut," pungkasnya.
Kasus Tom Lembong
Dalam perkara ini, Tom Lembong telah didakwa melakukan korupsi importasi gula. Perbuatan itu disebut turut merugikan keuangan negara hingga Rp 578,1 miliar.
Menurut jaksa, Tom Lembong menerbitkan persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) tanpa didasarkan rapat koordinasi dan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Persetujuan impor itu diberikan kepada sepuluh perusahaan gula swasta, yakni PT Angels Products, PT Makassar Tene, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Medan Sugar Industry, PT Permata Dunia Sukses Utama, PT Andalan Furnindo, PT Duta Sugar International, PT Berkah Manis Makmur, PT Kebun Tebu Mas, dan PT Dharmapala Usaha Sukses.
Jaksa menyebut total ada 21 surat persetujuan impor GKM yang dikeluarkan oleh Tom Lembong kepada perusahaan-perusahaan tersebut.
Izin itu disebut menyebabkan kemahalan harga yang dibayarkan PT PPI dalam pengadaan Gula Kristal Putih (GKP) untuk penugasan stabilisasi harga/operasi pasar. Selain itu, menyebabkan kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor.
Kedua hal tersebut telah merugikan negara senilai Rp 515 miliar. Angka ini menjadi bagian kerugian negara yang berdasarkan audit nilainya mencapai Rp 578,1 miliar.
Selain itu, Tom juga disebut memberikan izin kepada PT Angels Products untuk mengimpor GKM dan mengolahnya menjadi GKP. Padahal, saat itu stok GKP dalam negeri mencukupi.
Kemudian, Tom Lembong juga disebut tidak mengendalikan distribusi gula tersebut. Di mana, distribusi gula itu seharusnya dilakukan melalui operasi pasar.
Jaksa menyebut kerugian negara dalam kasus ini adalah sebesar Rp 578.105.411.622,47 atau Rp 578,1 miliar. Merujuk pada perhitungan dari BPKP.
Pihak Tom Lembong membantah dakwaan korupsi yang disusun jaksa. Penasihat hukum Tom Lembong, Ari Yusuf, menilai kliennya dipaksa bertanggung jawab oleh jaksa.