Sembilan bulan lamanya Thomas Trikasih Lembong mendekam dalam tahanan. Sejak akhir Oktober 2024, Menteri Perdagangan 2015–2016 yang kerap disapa Tom Lembong itu dijerat kasus korupsi impor gula. Perkara ini disinyalir erat dengan balas dendam politik, khususnya sejak ia mengubah haluan di Pilpres 2024 dengan mendukung Anies Baswedan, rival Prabowo—capres yang didukung penguasa saat itu, Jokowi.
Setelah proses persidangan berbulan-bulan, majelis hakim tak menemukan niat jahat maupun bukti memperkaya diri pada diri Tom. Namun anehnya Tom Lembong tetap dinyatakan bersalah dan divonis 4,5 tahun bui pada 18 Juli.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat bahkan menganggap kebijakan Tom lebih mengutamakan ekonomi kapitalis, ketimbang demokrasi ekonomi dan Pancasila.
Berbagai kejanggalan dan rasa ketidakadilan itu akhirnya menemukan jawaban dua pekan setelahnya. Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom, yang otomatis menghapus segala proses hukum terhadapnya. Tom pun bebas pada Jumat (1/8) malam setelah Prabowo meneken Keppres abolisi.
Lantas apakah Tom merasa dizalimi di kasus yang menjeratnya itu? Apa langkah Tom selanjutnya usai bebas? Simak wawancara kumparan dengan Tom Lembong di Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (7/8).
Sembilan bulan lamanya Anda ditahan walau vonis majelis hakim menyatakan tak ada niat jahat (mens rea), hingga akhirnya mendapat abolisi dari Presiden Prabowo. Apakah Anda merasa dizalimi?
Saya enggak punya perasaan apa-apa kecuali rasa syukur. Sungguh, maaf [jika] mengulang-ulang terus, yang saya diajarin sama istri saya [Francisca Wihardja] bahwa semua adalah rencana Tuhan dan rencana Tuhan itu selalu sempurna. Apalagi saat-saat ini. Jadi pertama, kembali bebas cuma rasa syukur saja. Enggak ada perasaan yang lain.
Anda bilang kasus yang impor gula bermuatan politis karena diusut di akhir era pemerintahan sebelumnya, kini kasusnya dihentikan dengan abolisi yang juga politis, bagaimana tanggapan Anda?
Memang dari sudut pandang saya, perkara ini dimulai dari sebuah motivasi politis dan agak wajar kalau kemudian juga diakhiri melalui sebuah tindakan politis. Yaitu bagian eksekutif (presiden) bergabung dengan bagian legislatif (DPR) untuk mengoreksi suatu kondisi yang terjadi dalam lembaga yudikatif (pengadilan). Buat saya masuk akal bahwa sesuatu yang dimulai dari latar belakang politis, motivasi politis, akhirnya terselesaikan dengan solusi yang juga politis.
Dalam pleidoinya di persidangan, Tom mengaku dibidik kasus impor gula sejak bergabung sebagai tim sukses Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di Pilpres 2024, sebuah pilihan yang berseberangan dengan penguasa saat itu. Sementara itu pakar hukum UGM Fatahillah Akbar menyatakan substansi pemberian abolisi sesuai Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 bersifat politis karena meminta pertimbangan DPR.
Tapi sangat bisa dimengerti banyak orang menyesali bahwa sesuatu yang sudah di dalam ranah hukum, harusnya bisa diselesaikan vertikal atau di dalam lembaga yuridis-yudikatif. [Bukan] sampai harus ada intervensi, gabungan antara eksekutif dan legislatif untuk menstabilk...