REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memasak makanan sendiri dengan bahan minim proses dinilai terbukti lebih efektif menurunkan berat badan dibanding mengonsumsi makanan ultraproses (UPF). Hal ini merujuk pada studi terbaru yang dipublikasikan di Nature Medicine.
Penelitian yang dilakukan oleh University College London (UCL) dan UCL Hospitals NHS Trust ini melibatkan 55 orang dewasa dengan BMI rata-rata 32. Selama delapan pekan, peserta dibagi dalam dua kelompok.
Pertama, mereka yang menjalani diet berbasis makanan ultraproses seperti lasagna siap saji, snack bar, dan makanan lain yang mengandung perasa atau pemanis buatan. Adapun kelompok kedua, mengonsumsi makanan rumahan dari bahan segar seperti yoghurt alami, sayur, buah, daging, ikan, hingga spaghetti bolognese rumahan.
Meski kandungan gizi kedua jenis diet telah disesuaikan agar setara, hasilnya menunjukkan bahwa kelompok makanan minim proses kehilangan berat badan dua kali lebih banyak dibanding kelompok UPF. Rata-rata, mereka juga mengurangi asupan kalori hingga 290 per hari, sementara kelompok UPF hanya 120 kalori.
"Ini menunjukkan bahwa bukan hanya kandungan lemak, gula, dan garam yang berperan, tapi juga sejauh mana makanan diproses. Sistem pangan global saat ini mendorong konsumsi makanan tidak sehat dan murah yang memperparah krisis obesitas," kata peneliti Prof Chris van Tulleken seperti dilansir laman The Guardian, Ahad (10/8/2025).
Menariknya, kelompok yang mengonsumsi makanan rumahan juga mengalami penurunan signifikan dalam keinginan untuk ngemil dan lebih mampu menahan godaan makanan tinggi kalori. Jika pola makan ini diterapkan selama setahun, para peneliti memperkirakan potensi penurunan berat badan mencapai 13 persen untuk pria dan 9 persen untuk wanita.
Peneliti utama dr Samuel Dicken menjelaskan tidak semua makanan ultraproses berbahaya, namun makanan ini umumnya lebih padat kalori dan lebih mudah dikonsumsi dalam jumlah besar. Karenanya ia bersama tim merekomendasikan intervensi kebijakan seperti pelabelan peringatan, pembatasan iklan, pajak makanan tidak sehat, serta subsidi bahan pangan segar agar lebih terjangkau.
Sementara itu, penulis studi lainnya dr Adrian Brown menyoroti bahwa makanan sehat kini bisa dua kali lebih mahal dari makanan ultraproses, terutama di tengah krisis biaya hidup. "Krisis biaya hidup telah memengaruhi pilihan masyarakat terhadap makanan. Makanan sehat harganya hingga dua kali lipat lebih mahal daripada makanan tidak sehat," kata dia.
Sementara itu, National Institute for Health and Clinical Excellence menyarankan agar layanan kesehatan memberikan dukungan lanjutan bagi orang-orang yang telah menyelesaikan program diet atau mengonsumsi obat penurun berat badan, guna mencegah kenaikan berat badan kembali. Dukungan ini termasuk pemeriksaan rutin, saran medis, dan rencana tindakan yang disesuaikan.