TEMPO.CO, Jakarta - Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik atau KIKA menyebut peretasan terhadap situs Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana (Persada) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya sebagai upaya represi terhadap suara kritis.
Insiden peretasan ini terjadi tak lama setelah para dosen, termasuk Ketua Persada, Fachrizal Afandi, menyuarakan kritik terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“KIKA memandang peretasan ini bukan sekadar serangan siber biasa, melainkan bentuk represi digital yang membungkam suara-suara kritis dan menjadi ancaman serius bagi prinsip kebebasan akademik di Indonesia,” kata Anggota KIKA Herdiansyah Hamzah dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Selasa, 5 Juli 2025.
Padahal, kata Herdiansyah, kebebasan akademik adalah pilar utama Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang mencakup kebebasan berpikir, berpendapat, dan berkarya dalam konteks ilmiah. Dosen hukum tata negara Universitas Mulawarman ini menilai, insiden yang menimpa sivitas akademika Universitas Brawijaya mencederai prinsip tersebut.
Ia menduga motif peretasan terkait dengan kritik terhadap RUU KUHAP dengan mengirimkan pesan ancaman yang menakutkan, tidak hanya kepada para dosen di Universitas Brawijaya, tetapi juga kepada seluruh akademisi, peneliti, dan mahasiswa di Indonesia. “Hal ini dapat menimbulkan efek “dingin” (chilling effect) yang membuat para cendekiawan enggan bersuara lantang karena khawatir akan adanya serangan balasan di ruang digital,” katanya.
Menurut Herdiansyah, kritik terhadap kebijakan publik, termasuk RUU KUHAP, adalah bagian tak terpisahkan dari peran universitas sebagai penjaga nalar kritis bangsa. Ia menegaskan bahwa perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan masukan konstruktif demi terciptanya legislasi yang lebih berpihak pada keadilan, HAM, dan prinsip-prinsip negara hukum.
“Upaya pembungkaman, baik melalui peretasan atau cara-cara digital lainnya, merupakan tindakan pengecut yang merusak ekosistem demokrasi dan merendahkan peran akademisi sebagai intelektual publik,” katanya.
Herdiansyah mengatakan pembungkaman melanggar kebebasan akademik yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, terutama Pasal 9 (1). Pasal itu memberikan kebebasan sivitas akademik dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.
Apalagi menyampaikan aspirasi dalam dunia pendidikan tinggi merupakan hak yang melekat pada seluruh sivitas, termasuk dalam Pasal 19 Kovenan SIPOL yang diratifikasi Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Kemudian, Pasal 13 Kovenan EKOSOB yang diratifikasi dalam UU Nomor 11 Tahun 2005 sebagai bagian dari hak atas pendidikan, apalagi hak digital saat ini telah diakui sebagai bagian dari HAM.
“Sehingga perenggutan, pendisiplinan, bahkan serangan terhadap kebebasan akademik kepada web Persada UB dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM di ruang digital!” ujarnya.
Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik meminta Polri dan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika mengusut tuntas insiden peretasan situs Pusat Riset UB. Herdiansyah mendesak pengusutan dilakukan secara transparan dan profesional untuk menemukan pelaku serta motif di balik serangan tersebut.
“Pemerintah dan DPR RI juga harus memberikan jaminan perlindungan kepada para akademisi yang menggunakan haknya untuk berpendapat dan mengkritik kebijakan publik,” tuturnya.
Pekan lalu, peretas sempat mengambil alih Situs Persada Universitas Brawijaya setelah sejumlah dosen hukum kampus itu memprotes pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Fachrizal Afandi, Ketua Persada, menyatakan peretasan itu terjadi setelah pihaknya yang tergabung dalam Forum Dosen Hukum Pidana Indonesia merilis pernyataan pada 18 Juli 2025. “Serangannya muncul setelah Pernyataan Sikap Forum Dosen Hukum Pidana Indonesia dirilis,” ujar dia saat dihubungi Tempo pada Ahad, 27 Juli 2025.
Fachrizal mengatakan laman milik lembaganya itu berkali-kali diserang oleh hacker dengan mengunggah konten-konten bermuatan pornografi sejak 25 Juli 2025. Selain itu, penyerang itu juga berusaha mengambil alih kepemilikan website.
Dosen hukum pidana Universitas Brawijaya itu yakin bahwa serangan pada laman Persada berhubungan dengan protes revisi KUHAP yang ia suarakan. Salah satu poin yang ia soroti minimnya partisipasi publik yang bermakna dalam proses pembahasan revisi KUHAP. Meski masuk dalam tenaga ahli yang direkrut pemerintah untuk menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), Fachrizal mengaku tidak sepenuhnya dilibatkan dalam penyusunan naskah DIM revisi KUHAP.