Soal Aturan Sound Horeg, DPRD Jawa Timur: Agar Tak Timbulkan Dampak Negatif

KETUA Fraksi Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD Jawa Timur Agung Mulyono, mendorong warga untuk mematuhi aturan pembatasan penggunaan sound system. Dia menilai kebijakan soal sound horeg tersebut bukan sekadar untuk menjaga ketertiban umum, tetapi juga guna melindungi kesehatan pendengaran masyarakat.

Menurut dia, aturan pembatasan ini supaya tercipta lingkungan yang tertib, kondusif, dan sehat. “Kami bukan melarang hiburan atau kegiatan budaya, tetapi mengatur agar tidak menimbulkan dampak negatif, baik secara sosial maupun medis,” tutur Agung, dikutip dari keterangan tertulis, Selasa, 12 Agustus 2025.

Agung mengapresiasi penerbitan Surat Edaran atau SE bersama perihal sound horeg yang diteken oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Nanang Avianto, dan Panglima Komando Daerah Militer V/Brawijaya Mayor Jenderal Rudy Saladin.

Agung Mulyono mengatakan ancaman paparan suara keras bagi kesehatan masyarakat bukan hal yang sepele. “Paparan suara yang terlalu keras dalam waktu lama bisa menyebabkan gangguan pendengaran permanen atau Noise-Induced Hearing Loss (NIHL),” ujar Agung.

Anggota DPRD Jawa Timur itu mengingatkan, berdasarkan standar World Health Organization dan Kementerian Kesehatan, paparan suara di atas 85 desibel selama lebih dari 8 jam per hari dapat merusak sel-sel rambut halus pada koklea di telinga dalam yang berfungsi mengirimkan sinyal suara ke otak. Kerusakan ini, kata Agung, bersifat permanen. 

“Untuk suara yang mencapai 120 desibel, kerusakan bisa terjadi bahkan hanya dalam hitungan menit,” ujar Agung. Selain gangguan pendengaran, ia melanjutkan, kebisingan ekstrem dapat memicu stres, gangguan tidur, tekanan darah tinggi, hingga risiko penyakit jantung.

Ia berpandangan bahwa kebiasaan masyarakat terpapar sound system atau sound horeg dengan suara berlebihan tanpa memperhatikan waktu dan lokasi berpotensi meningkatkan kasus denging di telinga (tinnitus) dan sensitivitas berlebih terhadap suara (hiperakusis).

Adapun Surat Edaran Bersama Nomor 300.1/6902/209.5/2025, Nomor SE/1/VIII/2025, dan Nomor SE/10/VIII/2025 yang berlaku sejak 6 Agustus 2025 memuat sejumlah aturan ihwal sound horeg.

Aturan pertama ialah soal tingkat kebisingan yang diberikan batasan antara penggunaan sound system statis dan bergerak. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan penggunaan sound system statis—seperti yang digunakan pada kegiatan kenegaraan, pertunjukan musik, hingga seni budaya di ruang terbuka maupun tertutup—dibatasi maksimal 120 desibel. 

Sedangkan penggunaan sound system dinamis atau bergerak juga dibatasi maksimal 85 desibel. Sound system bergerak ini dicontohkan seperti karnaval, unjuk rasa atau penyampaian pendapat di muka umum secara non statis atau berpindah tempat.

Kedua, dimensi kendaraan yang mengangkut sound system. Menurut Khofifah, kendaraan pengangkut sound system pada kegiatan kenegaraan, pertunjukan musik, seni budaya di ruang terbuka baik statis maupun bergerak harus sesuai dengan Uji Kelayakan Kendaraan (Kir).

Ketiga, batasan waktu, tempat dan rute yang dilewati sound system. Khofifah menegaskan bahwa pelaku sound system wajib mematikan pengeras suara saat melintasi tempat ibadah saat dilaksanakaan peribadatan, saat melintasi rumah sakit, saat ambulan melintas dan saat ada kegiatan pembelajaran di lingkungan pendidikan. 

Terakhir, SE ini mengatur penggunaan sound system untuk kegiatan sosial masyarakat. Khofifah menjelaskan penggunaan sound system dilarang untuk kegiatan yang melanggar norma agama, norma kesusilaan dan norma hukum. 

“Termasuk melarang adanya minuman keras, narkotika, pornoaksi, pornografi, penggunaan senjata tajam, dan barang terlarang lainnya dalam kegiatan yang menggunakan sound system,” kata Khofifah, Sabtu, 9 Agustus 2025.