
KEPALA Ekonom Bank Permata Josua Pardede berpandangan pemerintah perlu menerapkan pendekatan hibrida dalam strategi ekspornya. Tujuannya untuk menyeimbangkan pasar Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, seiring munculnya kesepakatan dagang baru.
Secara jangka pendek, AS dinilai tetap menjadi pasar yang substansial karena ketergantungan ekspor padat karya Indonesia. Namun, prospek jangka panjang akan lebih menjanjikan di Uni Eropa karena komitmen tarif yang lebih pasti, kerja sama teknis yang luas, dan akses pasar yang lebih beragam melalui kesepakatan dagang atau comprehensive economic partnership agreement (CEPA).
"Pemerintah harus mengambil pendekatan hibrida untuk mengoptimalkan peluang pasar," katanya, Selasa (5/8).
Secara komprehensif Josua menerangkan AS saat ini masih menjadi pasar ekspor utama bagi Indonesia, terutama untuk produk padat karya seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, furnitur, produk perikanan, dan karet. Namun, arah kebijakan perdagangan AS di bawah Presiden Donald Trump yang cenderung proteksionis mulai menciptakan risiko baru.
Tarif resiprokal sebesar 19% yang dikenakan kepada Indonesia memang lebih rendah dibanding negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam (20%) dan Thailand (36%). Tetapi, tarif itu tetap menekan margin pelaku usaha dan mempersempit daya saing produk Indonesia.
Kekhawatiran semakin besar ketika melihat penerapan tarif sektoral berdasarkan Section 232 terhadap berbagai produk strategis, mulai dari baja, aluminium, otomotif, hingga peralatan rumah tangga berbahan logam.
"Jika seluruh rencana tarif diberlakukan secara penuh, sekitar 62% dari ekspor Indonesia ke AS berpotensi terdampak. Ini termasuk pada sektor bernilai tinggi seperti elektronik, furnitur, dan ban," jelasnya.
Namun demikian, peluang tetap terbuka. Pada komoditas tertentu seperti perikanan dan makanan olahan, penurunan tarif yang dinikmati oleh kompetitor seperti Vietnam dan Tiongkok bisa dijadikan celah bagi Indonesia untuk mengajukan negosiasi tarif preferensial, terutama bagi produk yang tidak diproduksi di AS seperti kelapa sawit atau CPO, cokelat, kopi, dan karet.
Sebaliknya, lanjut Josua, pasar Uni Eropa menunjukkan arah yang lebih positif dan terbuka. Melalui Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (Indonesia-EU CEPA), Uni Eropa berkomitmen untuk menghapuskan tarif sebesar 98% dari seluruh pos tarif dan 99% dari total nilai impor. Komitmen ini mencakup produk unggulan Indonesia seperti alas kaki, sawit, biodiesel, elektronik, makanan olahan, dan produk pertanian.
"Lebih dari sekadar tarif, CEPA juga membuka berbagai peluang nontarif. Seperti, akses jasa tenaga profesional Indonesia ke pasar Eropa dan jaminan iklim investasi yang ramah terhadap ekonomi hijau," kata kepala ekonom Bank Permata itu.
Peluang nontarif lainnya ialah penguatan kerja sama standardisasi dan pengakuan bersama (mutual recognition arrangements/MRA) yang dapat mengurangi hambatan teknis dan sanitasi dalam perdagangan. Keuntungan ini menjadikan UE sebagai mitra jangka panjang yang lebih stabil dan progresif.
"Apalagi, ada kerja sama lintas sektor CEPA mencakup usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), perawatan pesawat (MRO), hingga sektor kesehatan dan farmasi," katanya.
Kecermatan
Josua kemudian menekankan pentingnya kecermatan pemerintah dalam merespons perkembangan kebijakan dagang AS, terutama terkait perluasan tarif terhadap sektor-sektor yang kini masih dalam tahap investigasi, seperti semikonduktor, farmasi, pesawat terbang, dan mineral kritis. Produk-produk ini merupakan bagian penting dari ekspor bernilai tambah tinggi Indonesia.
Ketidakpastian tarif juga dapat menyebabkan keterlambatan pembayaran dari pembeli luar negeri, yang pada gilirannya menghambat masuknya devisa hasil ekspor (DHE), menekan cadangan devisa, dan berdampak terhadap stabilitas nilai tukar rupiah.
Pemerintah perlu memastikan agar Indonesia tidak berada dalam posisi tawar yang lemah saat bernegosiasi dengan AS. Ketegasan dalam mempertahankan daya saing produk strategis seperti CPO, perikanan, dan TPT sangat penting.
Di sisi lain, untuk memaksimalkan manfaat dari CEPA, Indonesia perlu memperkuat standardisasi domestik dan sistem sertifikasi yang sesuai dengan regulasi teknis UE seperti SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures), TBT (Technical Barriers to Trade), dan aspek keberlanjutan (sustainability).
Kegagalan dalam penyelarasan regulasi ini, ungkap Josua, berisiko membuat CEPA tidak dimanfaatkan secara optimal (underutilized), dan kehilangan potensi manfaat yang besar bagi perekonomian nasional. (Ins/E-1)