Oleh : Dr Kuncoro Hadi, RIFA, CLOT; Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Al Azhar indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia resmi menetapkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dengan target defisit sebesar Rp638,8 triliun atau 2,48 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini lebih rendah dari proyeksi defisit 2025 yang mencapai 2,78 persen PDB atau sekitar Rp662 triliun. Penurunan ini bukan hanya pencapaian angka semata, melainkan sinyal kuat bahwa pemerintah sedang membangun disiplin fiskal yang lebih kokoh, meski harus berjalan di tengah pusaran ketidakpastian global.
Konteks penyusunan RAPBN 2026 tidaklah sederhana. Dunia masih bergulat dengan warisan pandemi, menghadapi ketegangan geopolitik yang terus meningkat, serta menyaksikan maraknya proteksionisme di negara-negara besar. Faktor-faktor eksternal itu tentu memengaruhi asumsi makro ekonomi Indonesia, dari inflasi hingga stabilitas nilai tukar. Namun, di tengah kondisi tersebut, perekonomian nasional menunjukkan daya tahan yang patut diapresiasi. Pada kuartal pertama 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 4,87 persen, salah satu yang tertinggi di G20, dengan inflasi terkendali di 1,6 persen. Untuk 2026, pemerintah menargetkan pertumbuhan yang lebih tinggi, 5,4 persen, dengan inflasi dijaga di kisaran 2,5 persen.
Di balik target angka-angka itu, RAPBN 2026 menampilkan arsitektur fiskal yang berorientasi jangka panjang. Belanja negara diproyeksikan mencapai Rp3.786,5 triliun, sementara pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp3.147,7 triliun. Selisih antara keduanya menghasilkan defisit Rp638,8 triliun. Angka ini masih dalam batas aman sesuai Undang-Undang Keuangan Negara, yang membatasi defisit maksimal 3 persen PDB. Menariknya, pemerintah bahkan menargetkan APBN tanpa defisit sama sekali pada 2027 atau 2028. Ambisi menuju zero deficit tentu menuntut strategi penerimaan negara yang jauh lebih agresif dan efisiensi belanja yang luar biasa.
Visi besar ini bertumpu pada prinsip Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. RAPBN 2026 dirancang sebagai instrumen fiskal yang “ekspansif namun terukur”, dengan fungsi countercyclical yang menjaga stabilitas. Artinya, pengetatan defisit tidak ditempuh dengan pemotongan belanja secara sembrono, melainkan melalui alokasi yang lebih efisien dan investasi strategis. Rasio utang dijaga tetap sehat, sekitar 39,96 persen dari PDB, meski ada risiko kenaikan bunga global yang bisa menambah beban pembayaran utang.
Di antara berbagai strategi, dua pilar utama menonjol: keuangan syariah dan pembiayaan hijau. Keduanya dianggap bukan hanya sebagai alternatif, tetapi sebagai motor penggerak baru yang akan memperluas sumber penerimaan sekaligus memperkuat fondasi keberlanjutan fiskal.
Indonesia memiliki posisi istimewa dalam industri keuangan syariah. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, potensi pasar domestik sangat luas. Selama beberapa tahun terakhir, sukuk negara menjadi instrumen penting pembiayaan pembangunan. Sejak 2018, Indonesia bahkan memelopori penerbitan Green Sovereign Sukuk. Hasilnya, lebih dari 7,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp108 triliun berhasil dihimpun dan dialokasikan untuk proyek ramah lingkungan. Proyek-proyek itu tidak hanya memperkuat infrastruktur, tetapi juga berkontribusi pada pengurangan emisi hingga 10,5 juta ton CO₂e. Dengan total penerbitan sukuk negara yang telah mencapai 18,15 miliar dolar AS, Indonesia kini menjadi penerbit terbesar di dunia, sebuah pencapaian yang menegaskan daya tarik instrumen syariah di pasar internasional.
Selain sukuk, potensi wakaf juga mencuri perhatian. Diperkirakan, potensi wakaf di Indonesia mencapai Rp181 triliun per tahun. Jika dikelola secara produktif, dana tersebut dapat membantu membiayai pendidikan, layanan kesehatan, hingga infrastruktur sosial. Efek domino-nya, beban APBN untuk program-program sosial bisa dikurangi. Namun, potensi besar ini belum sepenuhnya termanfaatkan. Rendahnya literasi keuangan syariah, yang baru mencapai 39,11 persen pada 2023, menjadi kendala. Demikian pula keterbatasan inovasi produk syariah dan kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni. Karena itu, penguatan kelembagaan, misalnya melalui pembentukan Direktorat Jenderal Keuangan Syariah di Kementerian Keuangan, menjadi penting agar potensi ini benar-benar terwujud.
Pilar kedua adalah pembiayaan hijau. Dalam RAPBN 2026, pemerintah menekankan transformasi ekonomi rendah karbon sebagai syarat menuju Indonesia Emas 2045. Komitmen ini sejalan dengan target Net Zero Emissions paling lambat 2060. Sejak 2018, Green Sukuk telah membuktikan efektivitasnya. Hingga kini, lebih dari Rp108 triliun telah dialokasikan untuk proyek-proyek hijau. Di sektor perbankan, pembiayaan hijau juga semakin berkembang. Bank Mandiri, misalnya, mencatat portofolio pendanaan hijau sebesar Rp205 triliun. Secara nasional, obligasi hijau yang sudah diterbitkan mencapai Rp36,4 triliun.
Tak hanya itu, sejak 2023 Indonesia juga memiliki Bursa Karbon. Potensi ekonomi dari perdagangan karbon ini sangat besar, diperkirakan mencapai 565,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp8.000 triliun, terutama dari ekosistem hutan tropis, mangrove, dan lahan gambut. Meski realisasi penuh masih jauh, potensi ini dapat menjadi sumber pendapatan jangka panjang yang signifikan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah meluncurkan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Versi 2 serta Roadmap Keuangan Berkelanjutan 2026 untuk memperkuat kerangka investasi hijau.
Namun, sebagaimana keuangan syariah, pembiayaan hijau juga menghadapi tantangan. Harmonisasi regulasi masih perlu dipertegas, insentif fiskal belum cukup kuat, dan proyek-proyek hijau skala besar masih terbatas. Tanpa dukungan regulasi yang konsisten, potensi besar pembiayaan hijau bisa terhambat.
Selain dua pilar utama tersebut, RAPBN 2026 juga menekankan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemerintah menargetkan kontribusi BUMN hingga 50 miliar dolar AS untuk membantu menekan defisit. Superholding Danantara ditugaskan menjadi motor investasi jangka panjang dan mempercepat masuknya modal. Dari sisi pembiayaan, pemerintah merencanakan penerbitan utang baru Rp781,9 triliun. Jumlah ini lebih tinggi dari realisasi 2023 (Rp404 triliun), namun lebih rendah dari masa pandemi 2021 (Rp870,5 triliun). Strateginya jelas: utang tetap digunakan, tetapi dijaga agar tidak menimbulkan beban fiskal berlebihan.
Meski arsitektur fiskal yang dirancang ambisius, implementasinya tidak bebas risiko. Ketidakpastian global, proteksionisme perdagangan, hingga fluktuasi harga komoditas tetap mengintai. Di sisi domestik, rendahnya literasi keuangan syariah, keterbatasan SDM, serta kurangnya tata kelola wakaf yang akuntabel masih menjadi kendala. Begitu pula dalam pembiayaan hijau, keberhasilan sangat ditentukan oleh kejelasan regulasi dan kepastian insentif.
Ke depan, agar pilar keuangan syariah dan pembiayaan hijau benar-benar menopang RAPBN, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah kunci. Literasi dan inklusi keuangan syariah harus ditingkatkan melalui edukasi publik yang lebih masif. Produk syariah perlu dikembangkan agar lebih inovatif dan relevan. Potensi wakaf harus dioptimalkan dengan tata kelola yang transparan dan profesional. Di sisi hijau, penerbitan sukuk lingkungan harus diperluas, mekanisme harga karbon diperkuat agar aliran pendapatan lebih konsisten, serta kemitraan publik-swasta untuk proyek hijau perlu diperbesar.
RAPBN 2026 pada akhirnya bukan hanya dokumen fiskal tahunan. Ia adalah cerminan dari visi besar Indonesia membangun ekonomi yang tangguh, mandiri, dan sejahtera. Dengan disiplin anggaran, diversifikasi sumber penerimaan, serta sinergi fiskal dan moneter yang konsisten, ambisi zero deficit pada 2027 atau 2028 dapat tercapai. Jika itu terwujud, Indonesia tidak hanya berhasil menata fiskalnya, tetapi juga memberi teladan bagi dunia tentang bagaimana syariah dan keberlanjutan bisa menjadi fondasi ekonomi modern.