Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi tuan rumah The 9th International Library and Information Science Society (I-LISS) Conference pada Rabu (20/8) hingga Jumat (22/8) 2025. Konferensi internasional ini mempertemukan akademisi, pustakawan, dan peneliti dari berbagai negara, termasuk Korea Selatan, Kanada, Thailand, dan Malaysia. Sebanyak 120 peserta dari berbagai negara seperti Indonesia, India, Filipina, Brunei Darussalam, Thailand, Malaysia, Korea Selatan, Kanada, hingga Rusia hadir dalam konferensi ini.
Tahun ini, konferensi I-LISS mengusung tema “Revisiting Competencies” yang menyoroti pentingnya meninjau kembali kompetensi pustakawan dan pekerja informasi di tengah perubahan teknologi. Diskusi dibagi dalam tiga sesi paralel dengan topik seputar Artificial Intelligence, digitalisasi, preservasi budaya, literasi digital, dan peran pustakawan.
Dekan Fakultas Adab & Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, Nurdin, menegaskan urgensi tema ini.
“Konferensi ini sangat penting karena mencoba melihat ulang kompetensi yang dimiliki sekarang. Tujuannya untuk mempersiapkan pengelolaan informasi perpustakaan dan praktisi informasi ke depan, apakah kompetensi yang ada masih sesuai atau perlu diperbarui. Karena itu, kami mengundang orang-orang dari berbagai negara untuk membicarakan hal ini,” jelasnya.
Associate Professor Department of Library and Information Science, Keimyung University Korea Selatan, Eungi Kim, menegaskan perubahan besar dalam peran pustakawan.
“Dulu pustakawan selalu diasosiasikan dengan buku fisik. Padahal itu sudah terjadi 20–30 tahun lalu. Kini masyarakat datang ke perpustakaan untuk mencari informasi, layanan, hingga berbagai program,” ujarnya.
Menurut Kim, perkembangan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), membawa dampak besar bagi dunia perpustakaan.
“Di era kecerdasan buatan (AI), perpustakaan tidak lagi hanya tentang buku fisik. Kini kita berbicara mengenai literasi AI, ChatGPT, dan large language models — hal ini mengubah cara kita menemukan dan menyebarluaskan pengetahuan,” jelasnya.
Ia menambahkan, masa ini menjadi momentum penting bagi profesi pustakawan.
“Pustakawan pun perlu dilatih untuk memahami teknologi baru. Saya ingin mengatakan: pelajarilah lebih banyak tentang AI, khususnya large language models seperti ChatGPT. Ada banyak sekali alat berbasis AI, pelajari dan gunakanlah, bukan hanya berfokus pada buku,” tegas Kim.
Sementara itu, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Nazaruddin mengingatkan pentingnya tetap menjaga prinsip literasi dasar di tengah perubahan.
“Ada hukumnya bahwa setiap buku ada pembacanya. Every book its readers and every reader its book. Oleh karena itu, saya pikir dua hal ini harus dipertahankan. Minimal harus menjadi satu yang disebut hybrid library atau perpustakaan hibrida,” jelasnya.
Ia menilai konferensi ini juga membuka peluang kerja sama lintas negara.
“Ini adalah kesempatan baik untuk menjalin kolaborasi...