Warga Jepang berjalan di Tokyo pada abu, 12 Juni 2024. Populasi Jepang terus merosot belakangan.
REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO – Anjloknya populasi Jepang terus berlanjut. Populasi Jepang menyusut sebesar 0,75 persen pada tahun 2024, menandai rekor tertinggi sejak pencatatan dimulai pada tahun 1968, menurut data resmi.
Penurunan tersebut berjumlah 908.574 jiwa, penurunan populasi terbesar sejak pencatatan dimulai pada tahun 1968. Ini adalah tahun ke-16 berturut-turut penurunan populasi Jepang.
Penurunan itu membuat populasi Jepang berkurang menjadi 120,65 juta orang dari puncaknya sebesar 126,6 juta pada tahun 2009, menurut Kementerian Dalam Negeri.
Deutsche Welle melansir, warga negara Jepang berusia 65 tahun ke atas merupakan 30 persen dari populasi negara tersebut. Sementara, 60 persen warga negara Jepang berusia antara 15 dan 64 tahun.
Meskipun banyak negara maju secara ekonomi memiliki populasi penuaan, Jepang merupakan negara tertua kedua, setelah negara kecil Monaco, menurut Bank Dunia.
Jepang juga mengalami penurunan angka kelahiran di bawah 700.000 untuk pertama kalinya, menurut data Kementerian Kesehatan yang dirilis pada bulan Juni. Sebanyak 686.061 bayi baru lahir tercatat pada tahun 2024, jumlah terendah sejak pencatatan dimulai pada tahun 1899.
Perdana Menteri Shigeru Ishiba menyebut angka-angka tersebut sebagai “keadaan darurat yang senyap.” Ia menjanjikan tindakan lebih lanjut dari pemerintah untuk mencoba melawan tren tersebut.
Pemerintah Jepang telah berjuang untuk meningkatkan angka kelahiran yang rendah di negaranya. Populasi yang menua dapat memberikan tekanan pada perekonomian karena semakin banyak orang yang memanfaatkan dana pensiun, sementara lebih sedikit generasi muda yang bekerja yang memberikan dana ke kas negara.
Negara-negara dengan populasi lanjut usia seringkali bergantung pada tenaga kerja migran untuk menutupi kekurangan tenaga kerja yang disebabkan oleh menurunnya populasi mereka.