Menjelang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, para perajin Perahu Bidar di Kota Palembang mulai disibukkan dengan proses perawatan dan perbaikan perahu tradisional andalan mereka. Namun di balik semangat menyambut ajang tahunan ini, para perajin menghadapi tantangan serius terkait ketersediaan bahan baku utama yakni kayu berkualitas dengan ukuran panjang.
Salah satu perajin sekaligus pemilik perahu bidar, Encik Muhammad Alauddin Saka Gerhanyang akrab disapa Jaka, mengungkapkan bahwa proses perbaikan bidarnya saat ini telah mencapai 65 persen. Namun, ia mengakui proses tersebut tidak pernah lepas dari kendala klasik yang terus berulang setiap tahun—yakni sulitnya mendapatkan kayu panjang yang sesuai kebutuhan.
"Kesulitannya untuk di bidar ini pada bahan baku, karena bahan baku perahu bidar ini memerlukan kayu yang panjang. Panjang bisa mencapai 12 meter, bisa 10 meter. Nah, kebanyakan kita di Palembang ini hanya ukuran kayunya cuma 4 meter," jelas Jaka, Senin (4/8/2025).
Perahu bidar bukan perahu biasa. Panjangnya bisa mencapai 31 meter dan membutuhkan material yang tidak hanya kuat, tapi juga ringan agar tetap stabil saat melaju di Sungai Musi. Jenis kayu yang biasa digunakan antara lain kayu merawan, meranti, rengas, dan bungur—semuanya dikenal memiliki karakteristik ringan dan tahan terhadap pelapukan air.
Namun, ketersediaan kayu-kayu tersebut dengan ukuran panjang yang dibutuhkan tidak bisa ditemukan di wilayah Palembang. Para pengrajin seperti Jaka harus mencarinya hingga ke pelosok kabupaten lain seperti Muara Enim dan Lahat.
"Kita dari Palembang datang ke dusun orang, kita lihat, kita nego. Setelah kita dapat kayunya, kita tebang di hutan, lalu bawa pakai mobil ke Palembang," tutur Jaka.
Proses ini tentu memakan waktu, biaya, dan tenaga lebih besar. Dalam satu proyek pembuatan atau perbaikan perahu bidar, biasanya hanya melibatkan empat orang dan bisa memakan waktu hingga dua bulan lamanya. Padahal, lomba bidar yang digelar setiap tahun menjadi ajang prestisius yang ditunggu-tunggu masyarakat Palembang dan sekitar.
Jaka menyebut bahwa selain proses produksi, biaya operasional yang tinggi akibat terbatasnya bahan baku juga berdampak pada keberlangsungan kerajinan perahu bidar. Jika tidak ada dukungan dari pihak terkait untuk membantu suplai bahan baku atau solusi jangka panjang, ia khawatir eksistensi bidar sebagai warisan budaya Palembang akan terancam.
"Kalau bahan susah terus, nanti makin sedikit orang yang mau buat bidar. Sayang sekali kalau sampai hilang. Padahal ini ikon budaya Palembang," ujarnya.
Diketahui, lomba perahu bidar akan digelar pada 15–17 Agustus 2025 mendatang di Sungai Musi sebagai bagian dari rangkaian HUT RI ke-80. Setiap perahu akan diisi oleh 57 orang—terdiri dari 55 pendayung, satu juragan, dan satu tukang timbah air—yang siap memeriahkan atraksi sungai khas Bumi Sriwijaya tersebut.
Sebagai pengrajin sekaligus pelaku ekonomi kreatif lokal, Jaka berharap pemerintah maupun masyarakat bisa turut menjaga keberlangsungan tradisi bidar, termasuk memperhatikan ekosistem produksinya.
"Kami mohon diberi ruang. Jangan ganggu jalur lomba pakai perahu lain. Biarkan kami tampil maksimal, ini warisan kota kita bersama," tegasnya.