
BENTURAN antara tradisi lama dan saran medis modern masih menjadi masalah besar dalam penerapan Makanan Pendamping ASI (MPASI) di Indonesia. Meski rekomendasi ilmiah dari tenaga kesehatan terus berkembang, banyak keluarga tetap memegang teguh pola asuh yang diwariskan turun-temurun, bahkan ketika kebiasaan tersebut berisiko menghambat tumbuh kembang anak.
Salah satu mitos yang masih kuat adalah anggapan bahwa sayuran dan buah sudah cukup untuk mencegah stunting. Padahal, para ahli menegaskan bahwa sumber utama nutrisi bagi pertumbuhan linear dan perkembangan otak adalah protein hewani yang kaya asam amino esensial.
“Banyak petugas posyandu bahkan masih merekomendasikan sayur, buah, dan vitamin untuk mencegah stunting, padahal hanya protein hewani yang efektif,” jelas Anggota Unit Kerja Koordinasi Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI, Winra Pratita, dalam sebuah webinar, Selasa (12/8).
Di sisi lain, berbagai praktik tradisional justru dapat membahayakan kesehatan bayi. Misalnya, pemberian madu sebelum usia satu tahun yang berisiko memicu infant botulism akibat bakteri Clostridium botulinum; pengenalan makanan padat seperti pisang sebelum enam bulan yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan, alergi, hingga risiko tersedak; penggunaan menu tunggal MPASI yang tidak mencukupi kebutuhan gizi; larangan protein hewani hingga anak berusia satu tahun karena mitos “mulut bayi bau” atau “anak menjadi nakal”; serta kebiasaan memberikan makanan yang sudah dikunyah orang dewasa yang berisiko menularkan penyakit.
Tantangan juga datang dari derasnya arus informasi di era digital.
"Orang tua kini tidak hanya bergulat dengan tradisi keluarga, tetapi juga dihadapkan pada banjir konten viral yang kerap tidak akurat. Promosi MPASI instan atau metode pemberian makanan yang tidak sesuai saran medis dapat menyesatkan keputusan keluarga," jelad dia.
Untuk mengatasi hal ini, para ahli mendorong komunikasi yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Alih-alih menggunakan istilah teknis, pesan seperti 'perbanyak protein hewani lokal' dinilai lebih efektif dalam mengubah perilaku tanpa menolak budaya setempat, melainkan mengarahkannya agar sejalan dengan pengetahuan ilmiah.
Perbaikan pola pemberian MPASI bukan hanya tugas tenaga medis, tetapi pekerjaan bersama seluruh elemen masyarakat. Edukasi yang tepat dan konsisten menjadi kunci agar orang tua dapat membuat pilihan nutrisi terbaik demi masa depan generasi berikutnya. (Z-10)