Roma Kyo Kae Saniro
Kuliner | 2025-08-26 10:34:13
Roma Kyo Kae Saniro
Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Ilustrasi Peyek (Rakik Kacang dari Sumatera Barat Merek Ayah Asli). Sumber: foto pribadi
Indonesia memiliki beragam kuliner yang luar biasa. Tentunya, hal ini menjadi sebuah kebanggaan bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, hal ini juga menjadi tanggung jawab bersama untuk selalu melestarikan kuliner tersebut sebagai warisan budaya bangsa. Salah satu kuliner yang digemari oleh banyak masyarakat Indonesia adalah peyek.
Peyek, atau yang juga dikenal dengan rempeyek, merupakan makanan ringan yang renyah dan gurih, biasanya dibuat dari tepung beras dengan campuran berbagai bahan seperti kacang tanah, ikan teri, kacang hijau, udang rebon, hingga daun rempah-rempah. Keunikan peyek terletak pada kreativitas masyarakat di tiap daerah dalam mengolahnya sehingga menghasilkan variasi rasa dan bentuk yang berbeda. Makanan ini mirip seperti keripik, tetapi memiliki isian yang disebutkan sebelumnya. Selain itu, kuliner ini dianggap makanan ringan yang dapat dinikmati kapan saja dan di mana saja karena biasanya dibungkus dalam kemasan yang mudah dibawa-bawa. Peyek pun dijual dengan harga yang sangat ekonomis dan dapat ditemukan di mana saja sehingga tidak salah jika makanan ini banyak digemari oleh masyarakat Indonesia. Dengan banyaknya masyarakat yang menyukainya, begitu juga dengan produser peyek yang tersebar di berbagai daerah Indonesia dengan variasinya sendiri.
Peyek atau rempeyek menjadi sebuah gorengan yang dinikmati oleh masyarakat Jawa saat menikmati pecal atau gado-gado. Selain itu, menurut Indonesiakaya.com, rempeyek telah hadir di Indonesia sejak Kesultanan Mataram sekitar abad ke-16. Seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa masyarakat Indonesia banyak yang menyukai peyek, salah satunya adalah masyarakat di Yogyakarta. Masyarakat banyak mengonsumsi peyek kacang, kedelai, teri, anak kepiting, udang, laron, dan ikan asin kecil dengan beragam ukuran mulai dari genggaman tangan hingga sebesar ban motor kecil (RRI.co.id, 2025).
Pada masyarakat Yogyakarta, peyek tidak hanya dikonsumsi pada makanan sehari-hari, tetapi juga digunakan sebagai sajian dalam upacara adat yang berkaitan dengan daur hidup manusia. Hal ini menunjukkan wujud penghayatan manusia melalui tiga fase penting, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Lebih jauh, dalam upacara kematian, masyarakat Jawa memiliki acara mitoni atau selamatan saat bayi berumur tujuh bulan dalam kandungan; atau upacara brokohan atau barokahan saat bayi lahir; upacara sunat; upacara pernikahan; atau upacara kematian. Tidak hanya itu, masyarakat Jawa yang berada di Kotagede pada zaman dahulu menggunakan peyek sebagai pelengkap sesaji untuk ritual.
Lebih jauh, menurut Ph, Subroto mengungkapkan bahwa peyek digunakan sebagai perlengkapan upacara terkait dengan pertanian lahan basah atau kering. Daerah lainnya juga, seperti daerah Klaten adanya ritual di sawah dengan lahan basah yang dilakukan sebelum panen. Nantinya, peyek akan digunakan untuk sesajian dan sisanya di bagikan kepada masyarakat untuk dibawa pulang.
Tidak hanya terkenal pada masyarakat Jawa, masyarakat di Sumatera Barat pun mengenal peyek, tetapi dengan nama berbeda, yaitu rakik. Menurut KBRN, rakik di Minangkabau berisi taburan kacang tanah yang disebut sebagai rakik kacang tanah atau jika diberi taburan beberapa ekor ikan (dalam istilah Minangkabau disebut maco) disebut sebagai rakik maco. Bentuk rakik di Sumatera Barat adalah bulat sempurna karena menggunakan cetakan bulat yang digunakan saat menggorengnya. Hal ini berbeda dengan peyek di Jawa yang biasanya bentuknya tidak beraturan. Sama seperti peyek, rakik pun dapat ditemukan dengan mudah di wilayah Sumatera Barat karena memiliki harga dan kemasan yang ekonomis.
Di Bali dan Lombok, peyek tidak hanya sekadar digoreng dengan kacang tanah atau udang rebon seperti di daerah lain. Masyarakat setempat sering memadukan adonan peyek dengan daun jeruk purut yang telah diiris halus. Kehadiran daun jeruk ini memberikan aroma segar yang khas, sehingga peyek terasa lebih wangi dan menggugah selera. Selain itu, penggunaan kacang mede juga menjadi ciri khas tersendiri. Kacang mede yang gurih dan bertekstur renyah menjadikan peyek dari Bali dan Lombok terasa lebih mewah dan berkelas, mencerminkan kekayaan sumber daya alam daerah tersebut yang terkenal dengan perkebunan mede. Peyek jenis ini sering disajikan dalam acara keluarga besar, perayaan adat, maupun sebagai oleh-oleh khas untuk wisatawan.
Sementara itu, di daerah pedalaman Kalimantan dan Sulawesi, peyek berkembang dengan memanfaatkan bahan pangan lokal yang jarang ditemukan di daerah lain. Misalnya, masyarakat di pedalaman Kalimantan menggunakan kacang hutan atau biji-bijian lokal yang tumbuh liar di sekitar hutan. Kacang hutan memiliki rasa gurih yang unik serta tekstur yang lebih padat dibanding kacang tanah. Peyek ini tidak hanya menjadi camilan, tetapi juga bagian dari kearifan lokal dalam memanfaatkan hasil alam secara bijak.
Di beberapa wilayah pedalaman Sulawesi, peyek bahkan dibuat dengan campuran ikan sungai yang dikeringkan terlebih dahulu. Ikan sungai yang kecil-kecil, seperti ikan gabus muda atau sejenis ikan tawar lokal, dicampurkan ke dalam adonan tepung beras lalu digoreng hingga garing. Hasilnya adalah peyek dengan cita rasa gurih khas air tawar, sekaligus mencerminkan gaya hidup masyarakat yang sangat bergantung pada sungai sebagai sumber pangan.
Keragaman jenis peyek ini seakan melambangkan Bhinneka Tunggal Ika. Walaupun berbeda bahan, bentuk, dan cara penyajian, pada hakikatnya semuanya tetap bernama peyek—sama seperti Indonesia yang terdiri dari banyak suku, bahasa, dan budaya, namun tetap satu bangsa. Peyek sebenarnya bukan hanya sebagai kuliner turunan dari nenek moyang, tetapi lebih jauh, Gardjito mengungkapkan bahwa peyek memiliki sebuah makna gotong royong dan persatuan (RRI.co.id, 2025).
Sebagai bagian dari warisan kuliner, peyek perlu terus dilestarikan. Generasi muda dapat mengambil peran penting dengan cara mempelajari resep tradisional sekaligus mengembangkan inovasi baru tanpa meninggalkan nilai keasliannya. Upaya ini akan menjaga agar peyek tidak hanya dikenal sebagai camilan sederhana, tetapi juga sebagai representasi kekayaan budaya Indonesia.
Peyek adalah gambaran sederhana namun mendalam tentang keberagaman Indonesia. Dari bahan-bahan yang berbeda, tercipta harmoni rasa yang khas. Dari berbagai daerah yang memiliki ciri masing-masing, lahir satu identitas kuliner yang menyatukan. Dengan demikian, menjelajah peyek di Indonesia sejatinya adalah menjelajah makna Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.