Petugas melayani wajib pajak (ilustrasi).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan penyesuaian kebijakan pajak digital dilakukan guna mempermudah administrasi bagi wajib pajak, khususnya pedagang daring di platform niaga elektronik (e-commerce).
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menyebut pertumbuhan ekonomi digital menjadi alasan penyesuaian aturan tersebut. “Tahun 2024 yang lalu, total nilai transaksi digital sudah Rp1.450 triliun dengan pertumbuhan 6,6 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan PDB,” kata Yon dalam webinar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Selasa (26/8/2025).
Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, pemerintah menunjuk platform perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) sebagai pemungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5 persen dari peredaran bruto penjualan pedagang dalam negeri.
Dengan skema ini, pedagang tidak perlu lagi menghitung dan menyetor sendiri pajaknya. Pemotongan dilakukan langsung oleh platform dan dilaporkan dalam SPT. “Ini bukan jenis pajak baru, hanya mengatur cara pelaporan pajaknya, sehingga memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban,” ujar Yon.
Bagi pedagang kecil, aturan ini dinilai meringankan karena pajak yang dipotong tetap dapat dijadikan kredit pajak. Mekanisme berlaku baik bagi pedagang dengan omzet di atas Rp4,8 miliar maupun yang dikenakan tarif final 0,5 persen.
Yon menilai langkah ini penting di tengah derasnya transaksi digital yang semakin dominan di sektor jasa. Penyederhanaan administrasi pajak digital juga diharapkan menciptakan keadilan antara pelaku usaha konvensional dan digital. “Kita melihat perpajakan transaksi digital ini juga menciptakan kondisi yang setara atau bagi seluruh industri,” kata Yon.
sumber : Antara