
KPK memberi 17 catatan kepada DPR terkait pembahasan RUU KUHAP yang saat ini masih bergulir. Bahkan, KPK menilai ada potensi pertentangan antara KUHAP yang baru dengan UU KPK yang sudah bergulir.
Ada sejumlah hal yang jadi perhatian KPK, misalnya soal fungsi penyelidikan hingga Operasi Tangkap Tangan (OTT). Berikut perbedaan antara aturan di UU KPK dengan RUU KUHAP yang saat ini masih dibahas:
Kewenangan penyelidik dan penyidik di UU KPK (Lex specialis)
KPK berpedoman pada KUHAP, UU Tipikor, dan UU KPK. Karena itu juga KPK punya kekhususan di antaranya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Sifat kekhususan KPK (lex specialis) ada dalam Pasal 3 ayat (2), dan Pasal 7 ayat (2) RKUHAP. Tapi, berpotensi dianggap bertentangan karena ada Pasal 329 dan 330 RUU KUHAP.
RUU KUHAP:
Pasal 3 Ayat (2): Ketentuan dalam Undang-Undang ini dimaksudkan untuk melaksanakan tata cara peradilan pidana terhadap seluruh tindak pidana, kecuali diatur lain dalam Undang-Undang.
Pasal 7 ayat (2): PPNS dan Penyidik Tertentu mempunyai wewenang berdasarkan Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya.
Pasal 329: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan PPNS dan Penyidik Tertentu dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 330: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Upaya Paksa dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Keberlanjutan penanganan perkara KPK hanya dapat diselesaikan berdasarkan KUHAP
KPK menegaskan dalam penanganan perkara menggunakan KUHAP, UU TPK dan UU KPK. Tapi dengan adanya Pasal 327 di RUU KUHAP, penyelesaian perkara hanya bisa berpedoman pada KUHAP.
RUU KUHAP:
Pasal 327: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. perkara tindak pidana yang sedang dalam proses Penyidikan atau Penuntutan, Penyidikan atau Penuntutannya diselesaikan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
b. perkara tindak pidana yang sudah terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetapi proses Penyidikan atau Penuntutan belum dimulai, Penyidikan atau Penuntutannya dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini;
c. perkara tindak pidana yang sudah dilimpahkan ke pengadilan dan sudah dimulai proses pemeriksaannya tetap diperiksa, diadili, dan diputus berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kecuali untuk proses peninjauan kembali berlaku ketentuan dalam Undang-Undang ini;
d. dalam hal perkara tindak pidana yang sudah dilimpahkan ke pengadilan tetapi proses pemeriksaan Terdakwa belum dimulai, perkara diperiksa, diadili, dan diputus berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Penyelidik KPK tak diakomodir, penyidik hanya dari Polri
Di dalam UU KPK, KPK memiliki kewenangan melakukan penyelidikan, mengangkat dan memberhentikan penyelidik. Tak hanya itu, KPK juga memiliki kewenangan melakukan penyidikan dan mengangkat penyidik KPK.
RUU KUHAP:
Pasal 1 angka 7: Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan.
Pasal 20 (1): Dalam melaksanakan tugas Penyelidikan, Penyelidik dikoordinasikan, diawasi, dan diberi petunjuk oleh Penyidik Polri.
Pasal 20 (2): Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk Penyelidikan di Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan Undang-undang.
Penyelidikan hanya mencari peristiwa tindak pidana
Dalam ketentuan UU KPK, penyelidikan KPK telah menemukan bukti permulaan sekurang-kurangnya dua alat bukti. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK.
RUU KUHAP:
Pasal 1 angka 8: Penyelidikan adalah serangkaian tindakan Penyelidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan Penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Keterangan saksi jadi alat bukti di tahap penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan
KPK sudah menetapkan keterangan saksi sebagai alat bukti yang diambil sejak tahap penyelidikan.
RUU KUHAP:
Pasal 1 angka 46: Keterangan Saksi adalah alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari Saksi pada tahap Penyidikan, Penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan
Penetapan tersangka setelah penyidik kumpulkan 2 alat bukti
KPK sudah bisa mengumpulkan bukti sejak tahap penyelidikan sesuai dengan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK. KPK telah menetapkan tersangka sejak tahap penyelidikan. Ini juga dikuatkan dengan putusan MK. Karena itu, penetapan tersangka berdasarkan 2 alat bukti, bukan ditentukan tahap pemeriksaannya.
RUU KUHAP:
Pasal 1 angka 26: Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti.
Pasal 1 angka 29: Penetapan Tersangka adalah proses penetapan seseorang menjadi Tersangka setelah Penyidik berhasil mengumpulkan dan memperoleh kejelasan terjadinya tindak pidana berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti.
Penghentian penyidikan wajib libatkan Polri
KPK punya kewenangan khusus dalam mengangkat sekaligus memberhentikan penyidikan yang bertugas. penghentian penyidikan wajib diketahui oleh Dewas KPK.
RUU KUHAP:
Pasal 24 (3): Dalam hal PPNS atau Penyidik Tertentu menghentikan Penyidikan maka PPNS atau Penyidik Tertentu wajib melibatkan Penyidik Polri.
Pasal 24 (4): Dalam hal Penyidik menghentikan Penyidikan maka Penyidik wajib memberitahukan kepada Penuntut Umum, Korban dan/atau Tersangka paling lama 1 (satu) Hari terhitung sejak tanggal penghentian Penyidikan.
Pasal 24 ayat (5): Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk Penyidik di Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan Undang-Undang.
Penyerahan berkas perkara ke penuntut umum lewat penyidik Polri
KPK punya kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan penyidik. KPK juga punya kewenangan langsung menyerahkan berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum.
RUU KUHAP:
Pasal 7 ayat (4): PPNS dan Penyidik Tertentu dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya wajib berkoordinasi dengan Penyidik Polri sampai dengan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum.
Pasal 7 ayat (5): Koordinasi dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikecualikan untuk Penyidik di Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan Undang-Undang.
Penggeledahan tersangka harus didampingi penyidik Polri di daerah hukum itu
KPK menilai penggeledahan tidak hanya terhadap tersangka, tapi bagi objek yang dimiliki atau dikuasai seseorang. Klausul ini juga dinilai bertentangan dengan sejumlah pasal di RUU KUHAP.
Di sisi lain, penggeledahan yang dilakukan KPK hanya diberitahukan kepada Dewas.
RUU KUHAP:
Pasal 1 angka 32: Penggeledahan adalah tindakan Penyidik untuk melakukan pemeriksaan atas objek yang dimiliki atau di bawah penguasaan seseorang terkait tindak pidana untuk kepentingan pembuktian pada tahap Penyidikan, Penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 43: Dalam hal Penyidik melakukan Penggeledahan, Penyidik terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya dan surat izin Penggeledahan dari ketua pengadilan negeri kepada Tersangka atau salah satu keluarganya.
Pasal 105: Untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik dapat melakukan Penggeledahan:
a. rumah atau bangunan;
b. pakaian;
c. badan;
d. alat transportasi;
e. Informasi Elektronik;
f. Dokumen Elektronik; dan/atau
g. benda lainnya.

Penyitaan dengan izin pengadilan
KPK tak perlu izin pengadilan dalam melakukan penyitaan. KPK dalam aturannya hanya memberitahukan kepada Dewas.
RUU KUHAP:
Pasal 112:
(1) Sebelum melakukan Penyitaan, Penyidik mengajukan permohonan izin kepada ketua pengadilan negeri tempat keberadaan benda tersebut.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat informasi lengkap mengenai benda yang akan disita, sekurang-kurangnya meliputi :
a.jenis;
b.jumlah dan nilai barang;
c.lokasi;dan
d. alasan penyitaan.
(3) Ketua pengadilan negeri wajib meneliti secara cermat permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling...