
Mahkamah Agung mengabulkan uji materiil terhadap PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Putusan itu membuat ekspor pasir laut tidak bisa lagi dilakukan.
Gugatan ini diajukan oleh dosen asal Surakarta bernama Muhammad Taufiq. Dengan pihak tergugat adalah Presiden Republik Indonesia.
"Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon," bunyi putusan dikutip dari laman Mahkamah Agung, Kamis (26/6).
MA mengabulkan gugatan Taufiq dengan membatalkan Pasal 10 ayat (2), (3), dan (4) dalam PP Nomor 26 Tahun 2023. Sebab, dinilai bertentangan dengan Pasal 56 UU Kelautan.
Pasal yang dibatalkan itu terkait dengan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut. Yakni terkait dengan komersialisasi atau penjualan.
Berikut bunyi pasalnya yang dibatalkan MA:
(2) Pembersihan Hasil Sedimentasi di Laut dan Pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pasir laut dilakukan melalui pengambilan, pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan/atau penjualan Hasil Sedimentasi di Laut.
(3) Penjualan Hasil Sedimentasi di Laut berupa pasir laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mendapatkan izin usaha pertambangan untuk penjualan.
(4) Izin usaha pertambangan untuk penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dijamin penerbitannya oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang mineral dan batubara atau gubernur sesuai dengan kewenangannya setelah melalui kajian oleh tim kajian dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 9 ayat (2) PP tersebut, diatur bahwa pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut berupa pasir laut digunakan untuk:
a. reklamasi di dalam negeri;
b. pembangunan infrastruktur pemerintah;
c. pembangunan prasarana oleh Pelaku Usaha; dan/atau
d. ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Putusan ini diketok pada 2 Juni 2025. Majelis ini diketuai Hakim Irfan Fachruddin dengan anggota Hakim Lulik Tri Cahyaningrum dan Yosran.
Pertimbangan MA
Dalam pertimbangannya, MA menyatakan bahwa Pasal yang dibatalkan itu bertentangan dengan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 yang dimaksudkan untuk penanganan kerusakan lingkungan laut, melalui pencegahan, pengurangan, dan pengendalian lingkungan laut dari setiap pencemaran laut.
"Ketentuan tersebut tidak mengatur mengenai penambangan pasir laut untuk kemudian dijual (dikomersilkan). Pengaturan dalam objek permohonan yang melegalkan penambangan pasir laut justru bertolak belakang dengan maksud ketentuan Pasal 56," bunyi pertimbangan MA.
MA kemudian menyinggung semakin meluasnya daerah di kawasan pesisir, terutama di pesisir utara Pulau Jawa, yang tenggelam akibat abrasi dan kenaikan permukaan air laut (fakta notoir).
"Mahkamah Agung menilai pemerintah selama ini belum melakukan langkah-langkah serius dan sistematis guna menanggulangi kerusakan lingkungan pesisir tersebut," ujar MA.
"Karena itu menurut Mahkamah Agung, pengaturan komersialisasi hasil sedimentasi di laut berupa penjualan pasir laut di dalam objek permohonan, adalah kebijakan yang terburu-buru dan tidak mempertimbangkan aspek kehati-hatian, karena dapat mereduksi kebijakan optimalisasi pemanfaatan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut yang bersifat non komersial," masih dalam putusan MA.