
Ketimpangan antara si kaya dan si miskin di Indonesia masih lebar, meskipun ada sedikit perbaikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rasio gini atau ukuran ketimpangan pengeluaran pada Maret 2025 berada di angka 0,375, turun tipis 0,006 poin dari September 2024.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menjelaskan semakin mendekati angka 1, ketimpangan pengeluaran makin tinggi. Artinya, meskipun terjadi penurunan, kesenjangan ekonomi masih menjadi pekerjaan rumah besar.
"Hasil perhitungan kami pada kondisi Maret 2025, ketimpangan atau gini rasio Indonesia sebesar 0,375, turun 0,006 poin dari September 2024," kata Ateng dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jumat (25/7).
Jika dirinci, ketimpangan di wilayah perkotaan tercatat lebih tinggi, yakni 0,395. Sementara di perdesaan angkanya berada di 0,299. Meski sama-sama mengalami penurunan dibandingkan enam bulan sebelumnya, jurang antar warga di kota tetap lebih lebar.
"Maka ketimpangan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan ketimpangan di pedesaan," ujar Ateng.

Kesenjangan ini juga tercermin dari data kemiskinan. Hingga Maret 2025, BPS mencatat jumlah penduduk miskin mencapai 23,85 juta orang, setara dengan 8,47 persen dari total penduduk Indonesia.
Jika dibedah lebih jauh, ada selisih cukup besar antara kemiskinan di kota dan desa. Di perkotaan, tingkat kemiskinan berada di angka 6,73 persen, sementara di pedesaan mencapai 11,03 persen.
"Jadi desa lebih banyak yang miskinnya jika dibandingkan dengan perkotaan, terhadap total penduduk masing-masing wilayahnya. Persentase kemiskinan di pedesaan mengalami penurunan 0,31 persen jika dibandingkan September 2024. Persentase penduduk miskin di perkotaan mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan kondisi September 2024," ungkapnya.
Dengan kata lain, meskipun ketimpangan nasional menurun secara rata-rata, potret di lapangan tetap memperlihatkan jarak yang mencolok baik antara kota dan desa, maupun antara si kaya dan si miskin.