
KPK menyita hasil produksi dari lahan sawit milik eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi, senilai Rp 3 miliar. Penyitaan ini terkait kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menjeratnya.
Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menyebut bahwa hasil produksi itu merupakan hasil selama sekitar bulan sejak KPK menyita lahan sawit milik Nurhadi yang berlokasi di Padang Lawas, Sumatra Utara.
"Jadi selama sekitar 6 bulan sejak dilakukan penyitaan terhadap lahan sawit tersebut juga terus berproduksi sawitnya. Jadi hasil produksinya itu pun kemudian dilakukan penyitaan oleh KPK," kata Budi kepada wartawan, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (16/7).
"Dan selama sekitar 6 bulan ini telah menghasilkan sekitar Rp 3 miliar yang itu juga dilakukan penyitaan oleh penyidik," ungkapnya.
Budi menyebut, hasil penyitaan dari produksi lahan sawit tersebut disimpan di rekening penampungan KPK.
"[Hasil penyitaan disimpan di] rekening penampungan KPK. Itu menjadi bagian dari langkah awal KPK untuk asset recovery tentunya, ya," ucap dia.

Dalam perkara ini, KPK sebelumnya juga memeriksa dua orang saksi yakni notaris bernama Musa Daulae dan pengelola kebun sawit bernama Maskur Halomoan Daulay. Keduanya diperiksa penyidik sebagai saksi di Kantor BPKP Sumatra Utara, Senin (14/7) kemarin.
"Didalami terkait kepemilikan lahan sawit tersangka NHD [Nurhadi] dan mekanisme pengelolaan hasilnya," tuturnya.
Budi pun memastikan bahwa pihaknya akan menelusuri semua aset milik Nurhadi. Hal itu untuk melengkapi berkas perkara agar segera disidangkan.
"Semua aset ditelusuri oleh tim penyidik, terlebih perkaranya adalah selain tindak pidana korupsi juga kita kenakan pasal TPPU-nya," ucap dia.
Adapun Nurhadi kembali ditangkap KPK pada Minggu (29/6) malam lalu. Penangkapannya dilakukan saat dia baru saja bebas dari Lapas Sukamiskin.
Penangkapan ini terkait dugaan tindak pidana pencucian uang. Perkara ini merupakan pengembangan dari kasus suap dan gratifikasi yang telah menjerat Nurhadi sebelumnya.
Kata Pengacara Nurhadi

Pengacara Nurhadi, Maqdir Ismail, menilai penangkapan terhadap kliennya berlebihan. Maqdir mengatakan, penangkapan itu dilakukan saat Nurhadi masih menjalani hukumannya dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi.
Menurut Maqdir, tidak ada alasan KPK bisa melakukan penangkapan terhadap kliennya tersebut.
"Tidak alasan menurut hukum yang mereka bisa gunakan untuk melakukan penangkapan. Ini adalah tindakan berlebihan," ujar Maqdir saat dikonfirmasi, Senin (30/6) lalu.
Sekilas Kasus Nurhadi

Nurhadi memang sudah lama dijerat KPK dalam kasus pencucian uang. Dalam perkaranya, Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, menerima suap dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT), Hiendra Soenjoto, terkait pengurusan perkara.
Suap itu terkait dua perkara, yakni mengupayakan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait perjanjian sewa menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 m2 dan 26.800 m2 di Cilincing, Jakarta Utara, serta terkait gugatan antara Hiendra Soenjoto melawan Azhar Umar.
Dalam dakwaan, disebut bahwa suap yang diberikan sejumlah Rp 45.726.955.000. Namun, hakim menyatakan suap yang terbukti ialah Rp 35.726.955.000.
Selain itu, Nurhadi dan Rezky juga menerima gratifikasi dari sejumlah pihak terkait pengurusan beberapa perkara. Gratifikasi itu berasal dari Handoko Sutjitro; Renny Susetyo Wardani; Direktur PT Multi Bangun Sarana, Donny Gunawan; Freddy Setiawan; dan Riady Waluyo yang jumlahnya mencapai Rp 37.287.000.000.
Hakim sepakat bahwa Nurhadi dan Rezky menerima gratifikasi sejumlah itu. Namun, hakim menolak tuntutan jaksa agar Nurhadi dan Rezky diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 83,013 miliar atau setara suap dan gratifikasi yang diterima keduanya.
Atas kasus ini, Nurhadi dan Rezky masing-masing dihukum 6 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Sementara, Hiendra dihukum selama 4,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 4 bulan kurungan.